KEFANAAN YANG DICARI

Sabtu, 19 Januari 2013

Ibnu Khaldun




Ibn Khaldun adalah seorang ilmuwan, sekaligus juga negarawan, sosiolog, ahli hukum, dan sejarawan. Memang, di kalangan masyarakat awam,

nama Ibn Khaldun kurang begitu dikenal, akan tetapi di kalangan akademisi beliau sangat kesohor berkat teori-teorinya mengenai sosiologi, hukum kenegaraan, dan sejarah Islam.

Hal ini terbukti dengan begitu banyak karya-karya yang dihasilkannya. Hingga menjelang berakhirnya abad ke-20 tidak kurang dari 900 buku, artikel, disertasi, review, dan bentuk-bentuk publikasi ilmiah lainnya tentang Ibn Khaldun dan karya monumentalnya al Muqaddimah yang telah ditulis oleh para sarjana Barat maupun Timur.

Wali al Din Abu Zaid ‘Abd ar-Rahman bin Muhammad Ibn Khaldun al Hadrami al Ishbili, yang lebih populer dengan sebutan Ibn Khaldun, lahir di Tunisia pada 27 Mei 1332 M dan wafat di Kairo pada 17 Maret 1406 M. Nenek moyangnya berasal dari Hadramaut yang kemudian pindah ke Seville (Spanyol) pada abad ke-8 setelah semenanjung itu dikuasai oleh Arab Muslim dari Dinasti Umayah.

Keluarga Ibn Khaldun selama berabad-abad dikenal menduduki posisi tinggi dan terhormat dalam politik di Spanyol sampai akhirnya hijrah ke Maroko beberapa tahun sebelum Seville jatuh ke tangan penguasa Kristen pada 1248 M. Setelah terusir ini, keluarga Ibn Khaldun selanjutnya menetap di Tunisia, suatu negeri yang juga merupakan negeri St.Augustine (354-430 M), penggagas filsafat sejarah Kristen dengan karnyanya De Civitate Dei (Kota Tuhan) yang terkenal itu.

Seperti halnya banyak anak Arab, Ibn Khaldun mulai menghafal Al Quran sejak kecil. Ia belajar tafsir, hadits, usul fiqh, dan fiqh Madzhab Maliki. Ilmu-ilmu bahasa (nahwu, sharaf, dan balaghah), fisika, dan matematika didalaminya pula, sehingga pada usia 17 tahun Ibn Khaldun telah menguasai beberapa disiplin ilmu, termasuk umul’aqliyah (ilmu-ilmu kefilsafatan, logika, tasawuf, dan metafisika). Di bidang hukum, ia mengikuti Madzhab Maliki, madzhab yang dominan di Tunisia pada waktu itu. Ibn Khaldun juga tertarik pada ilmu politik, sejarah, ekonomi, geografi, dan lain-lain.

Dalam usianya yang masih belia (20 tahun), Ibn Khaldun telah agak jauh terlibat dalam bermacam kegiatan politik. Persaingan yang keras, saling menjatuhkan, saling menghancurkan, bukanlah fenomena asing yang dirasakan Ibn Khaldun saat itu. Yang cukup menarik untuk dicatat adalah bahwa Ibn Khaldun muda seakan menikmati iklim adu kekuatan seperti itu. Dinasti-dinasti kecil bersaing satu sama lain sebagai pertanda dari proses membusuknya imperium Arab Muslim di Afrika Utara. Dinasti-dinasti itu adalah Banu Hafsiah di Tunisia, Al Marin di Maroko, Al Mahdi di Bijjaya, Banu Nashr di Granada, dan pusat-pusat kekuasaan lainnya. Itulah Ibn Khaldun si politikus, bukan Ibn Khaldun si ilmuwan yang sangat berbeda nantinya.

Setelah ia memutuskan meninggalkan gelanggang politik dan terjun secara lebih tuntas di dunia ilmiah, berbagai karya besar dihasilkannya, termasuk karya masterpiece "al Muqaddimah" dan "Kitab al Ibar", yang diselesaikannya selama empat tahun (mulai tahun 780 M) di Istana Qal’at ibn Salamah, sebuah tempat di kota Frenda, Aljazair.



Kultur Intelektual

Ibn Khaldun adalah seorang yang rendah hati, tek pernah mengaku bahwa disiplin ilmu yang digarapnya sudah sempurna. Ia tidak menuntut orang agar mengikuti saja apa yanga dia sajikan. Sebaliknya, justru ia berharap para sarjana generasi berikutnya mengambil bagian dalam usaha mengembangkan disiplin ilmu itu. Inilah makna ucapannya dalam kalimat-kalimat terakhir kitabnya, Al Muqaddimah, "…Sekarang kami bermaksud menyudahi pembicaraan dalam buku pertama ini tentang hakikat peradaban dan peristiwa-peristiwa yang menyertainya. Kami telah menggarap secara memadai masalah-masalah bersangkutan dengana hal itu. Barangkali (sarjana) yang akan datang, yang mendapat keteguhan dari Allah dengan karunia pikiran sehat dan pengetahuan yang jelas, akan mampu menembus persoalan ini lebih banyak daripada yang kami tulis. Seseorang yang menciptakan disiplin baru tidaklah harus menggarap keseluruhan persoalan yang terkait dengan disiplin itu. Para penerusnya dapat secara berangsur-angsur menambah persoalan baru sehingga disiplin itu kelak menjadi sempurna."

Sayangnya, harapan dan antisipasi itu tidak terjadi di kalangan muslim. Kultur intelektual masyarakat waktu itu tidak mendukung harapan tersebut. Dunia Islam sangat terlambat mengenal dan menghargainya. Memang kemudian tumbuh penghargaan terhadap karyanya, tetapi penghargaan itu bersifat politis, bukan secara intelektual. Pada abad 16-17 M para pejabat pemerintah dan sarjana Turki Utsmani merasa perlu mendapatkan petunjuk praktis bagi kepentingan mereka dalam kitab al Muqaddimah.

Prof. Philip K. Hitti, dalam bukunya Makers of Arab History, menyajikan keterangan menarik tentang kultur intelektual masyarakat muslim waktu itu. Ibn Khaldun, katanya, dilahirkan pada zaman yang salah dan di tempat yang salah pula. Ia tampil terlalu lambat untuk dapat membangkitkan respon di kalangan umatnya sendiri yang tidur nyenyak pada abad pertengahan, atau untuk menemukan calon penerjemah di kalangan sarjana Eropa. Ia tak punya pendahulu dekat. Juga tak punya penerus. Tidak ada aliran pikiran yang dapat dinamakan "Khaldunisme".

Padahal para peneliti, khususnya para pemikir politik, menganggap bahwa Ibn Khaldun telah berhasil menemukan sesuatu yang baru di bidang ilmu pengetahuan yang ditekuninya. Dalam bukunya, al Muqaddimah, ia menulis bahwa ia telah menemukan suatu ilmu yang baru (‘Ilmun Mustaqillun binafsihi) yang belum pernah ditemukan orang sebelumnya.

Ia mengemukakan alasan bahwa pengetahuan umat manusia itu sangat banyak jumlahnya, sedangkan yang sampai ke tangan kita hanyalah ilmu pengetahuan satu bangsa saja, yaitu bangsa Yunani. Itu pun karena beberapa Khalifah Abbasiyyah menyediakan dana dan fasilits yang cukup besar untuk penerjemahan karya-karya itu. Ibn Khaldun menegaskan bahwa kita belum mengetahui kandungan ilmu pengetahuan bangsa Persia yang dilarang oleh Umar ibn Khattab (Khalifah ke-2) untuk dipelajari. Demikian juga kandungan ilmu pengetahuan bangsa Suryani, Qutbi, dan Babilonia.



‘Ashabiyyah

Tak perlu dikemukakan panjang lebar, Ibn Khaldun adalah pemikir multidisiplin, banyak gagasan Ibn Khaldun paralel, jika tidak dapat dikatakan mempengaruhi ilmuwan Barat yang muncul sesudahnya, seperti Machiavelli, Vico, Montesquie, Adam Smith, August Comte, Durkheim, Tonnies, dan bahkan Karl Marx.

Ibn Khaldun adalah sejarawan yang pertama kali memperkenalkan pendekatan baru dalam sejarah, yang kini dikenal sebagai sociological history yang menekankan pentingnya sosiologi bagi sejarah. Dalam mempelajari masa lampau ia tidak saja membahas kegiatan-kegiatan individual, tapi juga menganalisis hukum-hukum, kebiasaan, dan pranata-pranata berbagai bangsa. Hasilnya adalah sebuah filsafat sejarah yang lazim disebut cyclical history.

Pendapatnya tentang kebudayaan atau ilm al ‘Umran ia jelaskan dalam bangkit dan runtuhnya kebudayaan kota (hadlara). Menurutnya, elan vital bagi kebangkitan dan kemajuan peradaban adalah apa yang disebutnya ‘ashabiyyah. Istilah ini sudah digunakan sejak masa pra-Islam (jahiliyah), tetapi dengan konotasi negatif yakni "fanatisme" kekabilahan yang sempit yang mengalahkan segala cara untuk mencapai tujuan mereka sendiri, sehingga sangat chauvinistis (kebanggaan terhadap bangsa tertentu), bahkan rasis.

Akan tetapi ‘ashabiyyah yang dikehendaki oleh Ibn Khaldun adalah yang berupaya mendapatkan titik temu antara prinsip Islam tentang ukhuwah Islamiyah dengan ‘ashabiyyah. Yang inilah yang mengandung pengertian rasa solidaritas, kesetiaan kelompok, esprit de corps, dan bahkan nasionalisme.

Ibn Khaldun memang seorang sosiologis-agamis. Meski ia melihat kenyataan, ia juga mengemukakan preferensi. ‘Ashabiyyah yang disertai agama akan bertambah kuat sehingga masyarakat tambah bersatu. Rasa agama yang melemah akan menggerogoti ‘ashabiyyah tersebut. Sebaliknya, gerakan agama tidak akan berhasil jika tidak disertai ‘ashabiyyah. Di sini, tampaknya Ibn Khaldun menekankan ‘ashabiyyah sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan suatu reformasi dan revolusi.

Bagi masyarakat agamis, ‘ashabiyyah bukan saja diperlukan untuk menghadapi lawan, tapi juga untuk menjamin terlaksananya hukum-hukum syari’at. Demikianlah sekilas tentang profil Ibn Khaldun yang malang-melintang di berbagai sisi kehidupan yang penuh gejolak dan multi dimensi.


 (Sumber : Majalah Percikan Iman No. 1 Tahun II Januari 2001)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar