KEFANAAN YANG DICARI

Selasa, 30 Agustus 2011

Adab berpakaian






Adab Berpakaian







akaian merupakan salah satu nikmat sangat besar yang Allah berikan kepada para hambanya, Islam mengajarkan agar seorang muslim
berpakain dengan pakaian islami dengan tuntunan
yang telah Allah dan Rasul-Nya ajarkan. Berikut ini adalah adab-adab berkenaan dengan berpakaian yang sepantasnya di ketahui oleh seorang muslim:

Mendahulukan Yang Kanan

Di antara sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah mendahulukan yang kanan ketika memakai pakaian dan semacamnya. Dalil pokok dalam masalah ini, dari Aisyah Ummul Mukminin beliau mengatakan, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam suka mendahulukan yang kanan ketika bersuci, bersisir dan memakai sandal." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam redaksi Muslim (HR. Muslim -ed) dikatakan, "Rasulullah menyukai mendahulukan yang kanan dalam segala urusan, ketika memakai sandal, bersisir dan bersuci."

Mengomentari hadits di atas, Imam Nawawi mengatakan, "Hadits ini mengandung kaidah baku dalam syariat, yaitu segala sesuatu yang mulia dan



bernilai maka dianjurkan untuk mendahulukan yang kanan pada saat itu semisal memakai baju, celana panjang, sepatu, masuk ke dalam masjid, bersiwak, bercelak, memotong kuku, menggunting kumis, menyisir rambut, mencabut bulu ketiak, menggundul kepala, mengucapkan salam sebagai tanda selesai shalat, membasuh anggota wudhu, keluar dari WC, makan dan minum, berjabat tangan, menyentuh hajar aswad dan lain-lain. Sedangkan hal-hal yang berkebalikan dari hal yang diatas dianjurkan untuk menggunakan sisi kiri semisal masuk WC, keluar dari masjid, membuang ingus, istinjak, mencopot baju, celana panjang dan sepatu. Ini semua dikarenakan sisi kanan itu memiliki kelebihan dan kemuliaan." (Syarah Muslim, 3/131)

Adab Memakai Sendal

Yang sesuai sunnah berkaitan dengan memakai sandal adalah memasukkan kaki kanan terlebih dahulu baru kaki kiri. Ketika melepas kaki kiri dulu baru kaki kanan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika kalian memakai sandal, maka hendaklah dimulai yang kanan dan bila dicopot maka hendaklah mulai yang kiri. Sehingga kaki kanan merupakan kaki yang pertama kali diberi sandal dan kaki terakhir yang sandal dilepas darinya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Larangan Hanya Memakai Satu Sandal

Demikian pula seorang muslim dimakruhkan hanya



menggunakan satu buah sandal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika tali sandal kalian copot maka janganlah berjalan dengan satu sandal sehingga memperbaiki sandal yang rusak." (HR. Muslim)

Demikian pula dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "janganlah kalian berjalan menggunakan satu sandal. Hendaknya kedua sandal tersebut dilepas ataukah keduanya dipakai." (HR. Bukhari dan Muslim)

Perlu diketahui bahwa dua hal di atas hukumnya adalah dianjurkan dan tidak wajib. Oleh karena itu, orang yang mendapatkan masalah dengan alas kakinya karena tali sandal copot maka hendaknya berhenti sejenak untuk memperbaiki sandal tersebut untuk melepas semua sandal lalu melanjutkan perjalanan. Tidak sepantasnya bagi seorang mukmin menyelisihi larangan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meskipun hukumnya makruh dan tidak sampai derajat haram. Hendaknya kita berlatih dan membiasakan diri untuk mengikuti petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lahir dan bathin sehingga mendapatkan kemuliaan karena ittiba’ dengan sunnah Nabi secara hakiki.

Sebenarnya, makna eksplisit dari larangan memakai satu sandal adalah menunjukkan hukum haram andai tidak terdapat pernyataan Imam Nawawi yang mengklaim bahwa memakai dua sandal sekaligus itu disepakati sebagai perkara yang dianjurkan dan tidak wajib. Dalam Riyadhus Shalihin beliau memberi judul



untuk hadits-hadits di atas dengan hukum makruh saja. Maka keabsahan nukilan ini perlu dikaji dengan lebih seksama jika ternyata tidak benar maka makna eksplisit larangan dan berbagai penjelasan ulama tentang motif larangan ini menunjukkan bahwasanya menggunakan satu alas kaki saja itu hukumnya haram.

Perkataan Para Ulama Tentang Sebab Pelarangan
Tersebut

Mengenai larangan berjalan dengan satu sandal, para ulama memberikan beragam keterangan tentang motif Nabi dengan larangan tersebut. Imam Nawawi menyatakan bahwa para ulama mengatakan sebab larangan tersebut adalah karena menyebabkan pemandangan yang tidak pantas dilihat. Nampak cacat dan menyelisihi sikap wibawa. Di samping itu, kaki yang bersandal jelas lebih tinggi daripada kaki yang lain. Hal ini tentu menimbulkan kesulitan saat berjalan. Bahkan boleh jadi menyebabkan terpeselet. (Syarah Muslim, 14/62)

Sedangkan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari,
10/309-310 mengatakan, "Al-Khithabi menyatakan bahwa hikmah larangan menggunakan satu sandal
adalah karena itu berfungsi menjaga kaki dari gangguan duri atau semisalnya yang ada di tanah. Jika yang bersandal hanya salah satu kaki maka orang tersebut harus ekstra hati-hati untuk menjaga kaki yang lain, satu hal yang tidak perlu dilakukan untuk kaki yang bersandal. Kondisi ini menyebabkan gaya



berjalan orang ini tidak lagi lumrah dan tidak menutup kemungkinan dia bisa terpeleset. Ada yang berpendapat hal itu dilarang karena tidak bersikap adil terhadap anggota badan dan boleh jadi orang yang berjalan dengan satu sandal dinilai oleh sebagian orang sebagai orang yang akalnya bermasalah.

Sedangkan Ibnul Arabi mengatakan, "Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut terlarang karena itu merupakan gaya setan berjalan. Ada pula yang berpendapat karena sikap tersebut merupakan sikap yang tidak wajar dan lumrah. Di sisi lain, Al-Baihaqi berkomentar bahwa hukum makruh karena memakai satu sandal adalah disebabkan hal tersebut merupakan pemicu popularitas. Banyak mata akan tertarik memandangi orang yang berperilaku aneh seperti itu dan terdapat hadits yang melarang pakaian yang menyebabkan popularitas. Karenanya segala sesuatu yang menyebabkan popularitas sangat berhak untuk dijauhi."

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya setan berjalan menggunakan satu sandal." (HR Thahawi dalam Musykil Al-atsar)

Al-Albani mengatakan setelah menyebutkan sanadnya ini adalah sanad yang shahih, seluruh perawinya adalah orang-orang yang tsiqah, perawi yang dipakai dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim selain ar- Rabi bin Sulaiman al-Muradi namun beliau juga seorang yang kredibel. (Silsilah shahihah no. 348).



Dengan hadits ini jelaslah bagi kita motif dari larangan Nabi untuk berjalan dengan satu sandal karena itulah gaya berjalannya setan. Jika demikian, maka kita tidak perlu memaksa-maksakan diri dan mencari-cari motif pelarangan.

Termasuk Sunnah Adalah Kadang-kadang
Berjalan Tanpa Alas Kaki

Namun perlu diketahui bahwa termasuk sunnah Nabi adalah berjalan tanpa alas kaki kadang-kadang, dari Buraidah radhiyallahu 'anhu, ada seorang shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang pergi menemui Fudhalah bin Ubaid yang tinggal di Mesir. Setelah tiba dia berkata kepada Fudhalah, "Kedatanganku ini bukanlah dengan maksud berkunjung akan tetapi aku mendengar demikian pula engkau sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku berharap engkau memiliki ilmu tentangnya." Fudhalah bertanya, "Hadits apa yang engkau maksudkan?" Orang tadi mengatakan, "Demikian dan demikian," orang tersebut lalu bertanya, "Kenapa aku lihat rambutmu tidak tersisir rapi padahal engkau adalah seorang penguasa." Fudhalah mengatakan, "Sesungguhnya Rasulullah melarang kami untuk terlalu sering bersisir." "Lalu mengapa aku tidak melihatmu memakai sandal?" Tanya orang tersebut. Fudhalah mengatakan, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk kadang-kadang berjalan tanpa alas kaki." (HR Ahmad dan Abu Dawud, dinilai shahih oleh Al-Albani)






Memilih Pakaian Warna Putih

Warna pakaian yang dianjurkan untuk laki-laki adalah warna putih. Tentang hal ini terdapat hadits dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Kenakanlah pakaian yang berwarna putih, karena itu adalah sebaik-baik pakaian kalian dan jadikanlah kain berwarna putih sebagai kain kafan kalian." (HR. Ahmad, Abu Daud dll, shahih).

Dari Samurah bin Jundab, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, "Kenakanlah pakaian berwarna putih karena itu lebih bersih dan lebih baik
dan gunakanlah sebagai kain kafan kalian." (HR . Ahmad, Nasa'i dan Ibnu Majah, shahih)

Tentang hadits di atas Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkomentar, "Benarlah apa yang Nabi katakan karena pakaian yang berwarna putih lebih baik dari warna selainnya dari dua aspek. Yang pertama warna putih lebih terang dan nampak bercahaya. Sedangkan aspek yang kedua jika kain tersebut terkena sedikit kotoran saja maka orang yang mengenakannya akan segera mencucinya. Sedangkan pakaian yang berwarna selain putih maka boleh jadi menjadi sarang berbagai kotoran dan orang yang memakainya tidak menyadarinya sehingga tidak segera mencucinya. Andai jika sudah dicuci orang tersebut belum tahu secara pasti apakah kain tersebut telah benar-benar bersih ataukah tidak. Dengan pertimbangan ini Nabi memerintahkan kita, kaum laki- laki untuk memakai kain berwarna putih. Kain putih



disini mencakup kemeja, sarung ataupun celana. Seluruhnya dianjurkan berwarna putih karena itulah yang lebih utama. Meskipun mengenakan warna yang lainnya juga tidak dilarang. Asalkan warna tersebut bukan warna khas pakaian perempuan. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan. Demikian pula dengan syarat bukan berwarna merah polos karena nabi melarang warna merah polos sebagai warna pakaian laki- laki.Namun jika warana merah tersebut bercampur warna putih maka tidaklah mengapa." (Syarah Riyadus Shalihin, 7/287, Darul Wathon)

Pakaian Berwarna Merah?

Dari Abdullah bin 'Amr bin al 'Ash, Rasulullah pernah melihatku mengenakan pakaian yang dicelup dengan
'ushfur maka Nabi menegurku dengan mengatakan, "Ini adalah pakaian orang-orang kafir jangan dikenakan."
Dalam lafazh yang lain, Nabi melihatku mengenakan kain yang dicelup dengan 'usfur maka Nabi bersabda, "Apakah ibumu memerintahkanmu memakai ini?" Aku berkata, "Apakah kucuci saja?" Nabipun bersabda, "Bahkan bakar saja." (HR Muslim). Menurut penjelasan Ibnu Hajar mayoritas kain yang dicelup dengan 'ushfur itu berwarna merah. (Fathul Bari, 10/318)

Dalam hadits di atas Nabi mengatakan "Apakah ibumu memerintahkanmu untuk memakai ini" hal ini menunjukkan pakain berwarna merah adalah pakaian khas perempuan sehingga tidak boleh dipakai laki-laki. Sedangkan maksud dari perintah Nabi untuk



membakarnya maka menurut Imam Nawawi adalah sebagai bentuk hukuman dan pelarangan keras terhadap pelaku dan yang lainnya agar tidak melakukan hal yang sama.

Dari hadits di atas juga bisa kita simpulkan bahwa maksud pelarangan Nabi karena warna pakaian merah adalah ciri khas warna pakaian orang kafir. Dalam hadits di atas Nabi mengatakan "Sesungguhnya ini adalah pakaian orang-orang kafir. Jangan dikenakan."

Terdapat hadits lain yang nampaknya tidak sejalan dengan penjelasan di atas itulah hadits dari al Barra', beliau mengatakan, "Nabi adalah seorang yang berbadan tegap. Ketika Nabi mengenakan pakaian berwarna merah maka aku tidak pernah melihat seorang yang lebih tampan dibandingkan beliau." (HR Bukhari dan Muslim). Jawaban untuk permasalahan ini adalah dengan kita tegaskan bahwa yang terlarang adalah kain yang berwarna merah polos tanpa campuran warna selainnya. Sehingga jika kain berwarna merah tersebut bercampur dengan garis- garis yang tidak berwarna merah maka diperbolehkan.

Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar menyebutkan adanya tujuh pendapat ulama tentang hukum memakai kain berwarna merah. Pendapat ketujuh, kain yang terlarang adalah berlaku khusus untuk kain yang seluruhnya dicelup hanya dengan 'ushfur. Sedangkan kain yang mengandung warna yang selain merah semisal putih dan hitam adalah tidak mengapa. Inilah makna yang tepat untuk hadits-hadits yang



nampaknya membolehkan kain berwarna merah karena tenunan yaman yang biasa Nabi kenakan itu umumnya memiliki garis-garis berwarna merah dan selain merah.

Ibnul Qoyyim mengatakan, "Ada ulama yang mengenakan kain berwarna merah polos dengan anggapan bahwa itu mengikuti sunnah padahal itu sebuah kekeliruan karena kain merah yang Nabi kenakan itu tenunan Yaman sedangkan tenunan Yaman itu tidak berwarna merah polos" (Fathul Bari,
10/319)

Di samping diplih oleh Ibnu Qayyim, pendapat di atas juga didukung oleh Ibnu Utsaimin. Beliau mengatakan, "Kain berwarna merah yang Nabi pakai tidaklah berwarna merah polos akan tetapi kain yang garis- garisnya berwarna merah. Semisal istilah kain sorban merah padahal tidaklah seluruhnya berwarna merah bahkan banyak warna putih bertebaran di sana. Namun disebut demikian karena titik dan coraknya didominasi warna merah. Demikian pula sebutan kain tenun berwarna merah maksudnya garis-garisnya berwarna merah. Adapun seorang laki-laki memakai kain berwarna merah polos tanpa ada warna putihnya maka itu adalah sesuatu yang dilarang oleh Nabi" (Syarah Riyadhus Shalihin, 7/288, Darul Wathon).

Pendapat di atas juga disepakati oleh Syeikh Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam. Beliau mengatakan, "Terdapat banyak hadits yang melarang pakaian merah untuk laki-laki. Di antaranya adalah hadits yang



diriwayarkan oleh Bukhari, 'Sesungguhnya Nabi melarang kain berwarna merah'. Lalu bagaimana dengan hadits yang menyebutkan bahwa beliau memakai kain berwarna merah? Dalam Zadul Ma'ad, Ibnul Qoyyim menyebutkan bahwa kain merah yang Nabi kenakan itu bukan merah polos tapi kain yang memiliki garis-garis berwarna merah dan hitam. Sehingga kelirulah orang yang memiliki praduga bahwa itu adalah kain berwarna merah polos dan tidak tercampur dengan warna selainnya. Karena kain yang mayoritas garis-garisnya berwarna merah itu disebut kain merah. Kami dapatkan nukilan pendapat dari guru kami, Abdurrahman As Sa'di bahwa Nabi mengenakan kain berwarna merah untuk menjelaskan bahwa itu diperbolehkan. Menurut hemat kami penggabungan yang diajukan oleh Ibnul Qoyyim itu lebih bagus karena larangan mengenakan kain berwarna merah polos itu keras lalu bagaimana mungkin beliau mengenakannya dengan maksud menjelaskan bahwa itu adalah suatu yang dibolehkan" (Taisirul 'Allam, 1/147).

Sedangkan tentang hal ini, Syaikh Salim Al Hilali memberikan uraian sebagai berikut: "Tentang memakai pakaian berwarna merah terdapat beberapa pendapat ulama'.

Yang pertama membolehkan secara mutlak. Inilah pendapat dari 'Ali, Tholhah, Abdullah bin Ja'far, Al Barra' dan para shahabat yang lain. Sedangkan diantara tabiin adalah Sa'id bin Al Musayyib, An Nakha'i, Asy sya'bi, Abul Qilabah dan Abu Wa'il.



Yang kedua melarang secara mutlak.

Yang ketiga, hukum makruh berlaku untuk kain berwarna merah membara dan tidak untuk warna merah yang reduh. Pendapat ini dinukil dari atho', Thowus dan Mujahid.

Pendapat keempat, hukum makruh berlaku untuk semua kain berwarna merah jika dipakai dengan maksud semata berhias atau mencari populeritas namun diperbolehkan jika dipakai di rumah dan untuk pakaian kerja. Pendapat ini dinukil dari ibnu Abbas.

Yang kelima, diperbolehkan jika dicelup dengan warna merah saat berupa kain baru kemudian ditenun dan terlarang jika dicelup setelah berupa tenunan. Inilah pendapat yang dicenderungi oleh Al Khathabi.

Yang keenam, larangan hanya berlaku untuk kain yang dicelup dengan menggunakan bahan 'ushfur karena itulah yang dilarang dalam hadits sedangkan bahan pencelup selainnya tidaklah terlarang.

Pendapat ketujuh, yang terlarang adalah warna merah membara bukan semua warna merah dan pakaian tersebut digunakan sebagai pakaian luar karena demikian itu adalah gaya berpakaian orang yang tidak tahu malu.

Sedangkan pendapat terakhir, yang terlarang adalah jika kain tersebut seluruhnya dicelup dengan warna merah. Tapi jika ada warna selainnya, semisal putih dan merah maka tidak mengapa. Aku (Syaikh Salim al


Hilali) katakan: Pendapat yang paling layak untuk diterima adalah pendapat terakhir. Dengannya hadits- hadits tentang pakaian Nabi yang berwarna merah bisa disinkronkan karena kain yang dikenakan Nabi itu tenunan Yaman yang pada umumnya memiliki garis- garis merah dan selainnya... Sedangkan pendapat- pendapat yang lain itu kurang tepat. Pendapat pertama bisa dibantah dengan penjelasan bahwa kain berwarna merah yang dimaksudkan itu tidak polos. Pendapat kedua juga keliru karena jelas nabi memiki kain berwarna merah. Sedangkan pendapat ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh adalah pendapat-pendapat yang memberikan rincian tanpa dalil dan menghukumi dalil tanpa dalil." (Bahjatun Nazhirin, 2/81-82).

Berdasarkan uraian panjang lebar di atas jelaslah bahwa kain sorban merah yang biasa dikenakan orang- orang saudi bukan termasuk ke dalam hadits larangan berpakaian merah.

Haruskah Hitam?

Terkait dengan warna pakaian terutama pakaian perempuan, terdapat beragam sikap orang yang dapat kita jumpai. Ada yang beranggapan bahwa warna pakaian seorang perempuan muslimah itu harus hitam atau minimal warna yang cenderung gelap. Di sisi lain ada yang memiliki pandangan bahwa perempuan bebas memilih warna dan motif apa saja yang dia sukai. Sesungguhnya Allah itu maha indah dan mencintai keindahan, kata mereka beralasan. Manakah yang



benar dari pendapat-pendapat ini jika ditimbang dengan aturan al-Qur'an dan sunnah shahihah yang merupakan suluh kita untuk menentukan pilihan dari berbagai pendapat yang kita jumpai?

Salah satu persyaratan pakaian muslimah yang syar'i adalah pakaian tersebut bukanlah perhiasan. Dalam syarat ini adalah firman Allah yang artinya, "Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS. an Nur:31). Dengan redaksinya yang umum ayat ini mencakup larangan menggunakan pakaian luar jika pakaian tersebut berstatus "perhiasan" yang menarik pandangan laki-laki.

Ubaid, dari Nabi beliau bersabda, "Tiga jenis orang yang tidak perlu kau tanyakan (karena mereka adalah orang-orang yang binasa). Yang pertama adalah orang yang meninggalkan jamaah kaum muslimin yang dipimpin oleh seorang muslim yang memiliki kekuasaan yang sah dan memilih untuk mendurhakai penguasa tersebut sehingga meninggal dalam kondisi durhaka kepada penguasanya. Yang kedua adalah budak laki-laki atau perempuan yang kabur dari tuannya dan meninggal dalam keadaan demikian. Yang ketiga adalah seorang perempuan yang



ditinggal pergi oleh suaminya padahal suaminya telah memenuhi segala kebutuhan duniawinya lalu ia bertabarruj setelah kepergian sang suami. Jangan pernah bertanya tentang mereka." (HR Ahmad no
22817 dll, shahih. Lihat Fiqh Sunnah lin Nisa', hal 387)

Sedangkan tabarruj itu didefinisikan oleh para ulama' dengan seorang perempuan yang menampakkan "perhiasan" dan daya tariknya serta segala sesuatu yang wajib ditutupi karena hal tersebut bisa membangkitkan birahi seorang laki-laki yang masih normal.

Di samping itu, maksud dari perintah berjilbab adalah menutupi segala sesuatu yang menjadi perhiasan (baca: daya tarik) seorang perempuan. Maka sungguh sangat aneh jika ternyata pakaian yang dikenakan tersebut malah menjadi daya tarik tersendiri. Sehingga fungsi pakaian tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Meski demikian anggapan sebagian perempuan multazimah (yang komitmen dengan aturan agama) bahwa seluruh pakaian yang tidak berwarna hitam adalah pakaian "perhiasan" adalah anggapan yang kurang tepat dengan menimbang dua alasan.

Yang pertama, sabda Nabi,



"Wewangian seorang laki-laki adalah yang tidak jelas warnanya tapi nampak bau harumnya. Sedangkan



wewangian perempuan adalah yang warnanya jelas namun baunya tidak begitu nampak." (HR. Baihaqi dalam Syu'abul Iman no.7564 dll, hasan. Lihat Fiqh Sunnah lin Nisa', hal. 387)

Hadits ini mengisyaratkan bahwa adanya warna yang jelas bukanlah suatu hal yang terlarang secara mutlak bagi seorang perempuan muslimah.

Yang kedua, para sahabiyah (sahabat Nabi yang perempuan) bisa memakai pakaian yang berwarna selain warna hitam. Bukti untuk hal tersebut adalah riwayat-riwayat berikut ini:

Dari Ikrimah, Rifa'ah menceraikan istrinya yang kemudian dinikahi oleh Abdurrahman bin az Zubair. Aisyah mengatakan, "Bekas istri rifa'ah itu memiliki kerudung yang berwarna hijau. Perempuan tersebut mengadukan dan memperlihatkan kulitnya yang berwarna hijau. Ketika Rasulullah tiba, Aisyah mengatakan, Aku belum pernah melihat semisal yang dialami oleh perempuan mukminah ini. Sungguh kulitnya lebih hijau dari pada pakaiannya." (HR. Bukhari no. 5377)




Dari Ummi Khalid binti Khalid, Nabi mendapatkan hadiah berupa pakaian berwarna hitam berukuran kecil. Nabi bersabda, "Menurut pendapat kalian siapakah yang paling tepat kuberikan pakaian ini kepadanya?" Para sahabat hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas bersabda, "Bawa kemari Ummi Khalid (seorang anak kecil perempuan yang diberi kunyah Ummi Khalid)" Ummi Khalid dibawa ke hadapan Nabi sambil digendong. Nabi lantas mengambil pakaian tadi dengan tangannya lalu mengenakannya pada Ummi Khalid sambil mendoakannya, "Moga awet, moga awet." Pakaian tersebut memiliki garis-garis hijau atau kuning. Nabi kemudian berkata, "Wahai Ummi khalid, ini pakaian yang cantik." (HR. Bukhari no. 5823)

Meski ketika itu Ummi Khalid belum balig namun Nabi tidak mungkin melatih dan membiasakan anak kecil untuk mengerjakan sebuah kemaksiatan. Sehingga hadits ini menunjukkan bolehnya seorang perempuan mengenakan pakaian berwarna hitam yang bercampur dengan garis-garis berwarna hijau atau kuning. Jadi pakaian tersebut tidak murni berwarna hitam.

Dari al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, "Sesungguhnya Aisyah memakai pakaian yang dicelup dengan 'ushfur saat beliau berihram" (HR. Ibnu Abi Syaibah 8/372, dengan sanad yang shahih)

Pada tulisan yang lewat telah kita bahas bahwa yang dimaksud dengan celupan dengan 'ushfur adalah celupan yang menghasilkan warna merah.



Perbuatan Aisyah sebagaimana dalam riwayat di atas menunjukkan bahwa seorang perempuan muslimah diperbolehkan memakai pakaian berwarna merah polos. Bahkan pakaian merah polos adalah pakaian khas bagi perempuan sebagaimana keterangan di edisi yang lewat.

Berikut ini beberapa riwayat yang kuat dari salaf tentang hal ini:

Dari Ibrahim an Nakha'i, bersama Alqamah dan al Aswad beliau menjumpai beberapa istri Nabi. beliau melihat para istri Nabi tersebut mengenakan pakaian berwarna merah.

Dari Ibnu Abi Mulaikah, aku melihat Ummi Salamah mengenakan kain yang dicelup dengan 'ushfur (baca: berwarna merah).

Dari Hisyam dari Fathimah bin al Mundzir, sesungguhnya asma' memakai pakaian yang dicelup dengan 'ushfur (baca: berwarna merah)

Dari Said bin Jubair, beliau melihat salah seorang istri Nabi yang thawaf mengelilingi Ka'bah sambil mengenakan pakaian yang dicelup dengan 'ushfur (Baca: Berwarna merah). (Lihat Jilbab Mar'ah Muslimah karya al Albani hal. 122-123).

Di samping itu riwayat-riwayat di atas juga menunjukkan bahwa pakaian berwarna merah tersebut dipakai di hadapan banyak orang.




Singkat kata, yang dimaksud dengan pakaian yang menjadi "perhiasan" yang tidak boleh dipakai oleh seorang muslimah ketika keluar rumah adalah:

1. Pakaian yang terdiri dari berbagai warna (Baca: Warna warni).

2. Pakaian yang dihias dengan garis-garis berwarna keemasan atau berwarna perak yang menarik perhatian laki-laki yang masih normal. (Fiqh Sunnah lin Nisa', hal. 388).

Al Alusi berkata, "Kemudian ketahuilah bahwa menurut kami termasuk "perhiasan" yang terlarang untuk dinampakkan adalah kelakuan mayoritas perempuan yang bergaya hidup mewah di masa kita saat ini yaitu pakaian yang melebihi kebutuhan untuk menutupi aurat ketika keluar dari rumah. Yaitu pakaian dari tenunan sutra terdiri dari beberapa warna (baca:warna-warni). Pada pakaian tersebut terdapat garis-garis berwarna keemasan atau berwarna perak yang membuat mata lelaki normal terbelalak. Menurut kami suami atau orang tua yang mengizinkan mereka keluar rumah dan berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya dalam keadaan demikian itu disebabkan kurangnya rasa cemburu. Hal ini adalah kasus yang terjadi di mana-mana." (Ruhul Ma'ani,
6/56, lihat Jilbab Mar'ah Muslimah, karya Al Albani hal. 121-122).

Jika demikian keadaan di masa beliau, lalu apa yang bisa kita katakan tentang keadaan masa sekarang!



Allahul Musta'an (Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan).

Meskipun demikian, pakaian yang lebih dianjurkan adalah pakaian yang berwarna hitam atau cenderung gelap karena itu adalah:

1. Pakaian yang sering dikenakan oleh para istri Nabi.
Ketika Shafwan menjumpai Aisyah yang tertinggal dari rombongan, Shafwan melihat sosok hitam seorang yang sedang tidur. (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Hadits dari Aisyah yang menceritakan bahwa sesudah turunnya ayat hijab, para perempuan anshar keluar dari rumah-rumah mereka seakan- akan di kepala mereka terdapat burung gagak yang tentu berwarna hitam. (HR. Muslim)




Serba Serbi seputar warna

Jilbab Putih

Lajnah Daimah (Komite Fatwa Para Ulama' Saudi) pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, "Apakah seorang perempuan diperbolehkan memakai pakaian ketat dan memakai pakaian berwarna putih?"

Jawaban Lajnah Daimah, "Seorang perempuan tidak diperbolehkan untuk menampakkan diri di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya atau keluar ke jalan-



jalan dan pusat perbelanjaan dalam keadaan memakai pakaian yang ketat, membentuk lekuk tubuh bagi orang yang memandangnya. Karena dengan pakaian tersebut, perempuan tadi seakan telanjang, memancing syahwat dan menjadi sebab timbulnya hal-hal yang berbahaya. Demikian pula, seorang perempuan tidak diperbolehkan memakai pakaian yang berwarna putih jika warna pakaian semisal itu di daerahnya merupakan ciri dan simbol laki-laki. Jika hal ini dilanggar berarti menyerupai laki-laki, suatu perbuatan yang dilaknat oleh Nabi." (Fatawa al Mar'ah, 2/84, dikumpulkan oleh Muhammad Musnid).

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pada asalnya seorang perempuan diperbolehkan memakai pakaian yang berwarna putih asalkan cukup tebal sehingga tidak transparan/tembus pandang terutama ketika matahari bersinar cukup terik. Hukum ini bisa berubah jika di tempat tersebut pakaian berwarna putih merupakan ciri khas pakaian laki-laki maka terlarang karena menyerupai lawan jenis bukan karena warna putih.

Oleh karena itu pandangan miring sebagian wanita multazimah (yang komitmen dengan syariat) di negeri kita terhadap wanita yang berwarna putih adalah pandangan yang tidak tepat karena di negeri kita pakaian berwarna putih bukanlah ciri khas pakaian laki-laki, bahkan sebaliknya menjadi ciri pakaian perempuan (Baca: Jilbab).






Pakaian Perhiasan

Dalam edisi yang lewat, telah kita bahas tentang salah satu yang terlarang untuk pakaian perempuan yaitu bukan perhiasan dan telah kita sebutkan dua kriteria untuk mengetahui hal tersebut. Namun beberapa waktu yang lewat kami dapatkan penjelasan yang lebih tepat mengenai hal ini. Tepatnya dari Syaikh Ali al Halabi, salah seorang ulama dari Yordania. Ketika beliau ditanya tentang parameter untuk menilai suatu pakaian itu pakaian perhiasan ataukah bukan bagi seorang perempuan, beliau katakan, "Parameter untuk menilai hal tersebut adalah 'urf (aturan tidak tertulis dalam suatu masyarakat)" (Puncak, Bogor 14 Februari
2007 pukul 17:15).

Penjelasan beliau sangat tepat, karena dalam ilmu ushul fiqh terdapat suatu kaedah: "Pengertian dari istilah syar'i kita pahami sebagaimana penjelasan syariat. Jika tidak ada maka mengacu kepada penjelasan linguistik arab. Jika tetap tidak kita jumpai maka mengacu kepada pandangan masyarakat setempat ('urf )."

Misal pengertian menghormati orang yang lebih tua. Definisi tentang hal ini tidak kita jumpai dalam syariat maupun dari sudut pandang bahasa Arab. Oleh karena itu dikembalikan kepada pandangan masyarakat setempat. Jika suatu perbuatan dinilai menghormati maka itulah penghormatan. Sebaliknya jika dinilai sebagai penghinaan maka statusnya adalah penghinaan. Hal serupa kita jumpai dalam pengertian



pakaian perhiasan bagi seorang muslimah yang terlarang. Misal menurut pandangan masyarakat kita pakaian kuning atau merah polos bagi seorang perempuan yang dikenakan ketika keluar rumah adalah pakaian perhiasan maka itulah pakaian perhiasan yang terlarang. Akan tetapi di tempat atau masa yang berbeda pakaian dengan warna tersebut tidak dinilai sebagai pakaian perhiasan maka pada saat itu pakaian tersebut tidak dinilai sebagai pakaian perhiasan yang terlarang.

Pakaian Hitam Untuk Khatib Jum'at

Tidak dijumpai kata mufakat di antara para ulama' mengenai warna pakaian yang paling utama bagi seorang khatib, warna hitam ataukah putih. Terdapat dua pendapat dalam masalah ini:

Pendapat pertama, menganjurkan warna hitam. Ini merupakan pendapat sebagian ulama' bermazhab Hanafi. Mereka beralasan bahwa hal itu merupakan bentuk meneladani perilaku para khalifah yang sudah turun temurun di berbagai masa dan daerah.

Dalam Syarh al Multaqa, "Dianjurkan mengenakan pakaian berwarna putih, demikian pula yang berwarna hitam karena warna hitam merupakan simbol para khalifah bani abbasiah dan ketika Nabi berhasil menundukkan kota Mekah, Nabi mengenakan sorban berwarna hitam." Dalam riwayat yang lain dikatakan bahwa Nabi memiliki sorban berwarna hitam yang beliau kenakan pada saat dua hari raya. Ujung sorban



beliau biarkan terjulur di punggung beliau. (al Kamil, karya Ibnu Adi 6/2113 dari Jabir, lihat pula Raddul Muhtar, 3/21).

"Dari Amr bin Huraits, sesungguhnya Rasulullah berkhutbah dengan mengenakan sorban berwarna hitam." (HR Muslim)

Namun setelah dibandingkan dengan riwayat-riwayat yang lain disimpulkan bahwa kejadian ini terjadi pada saat penaklukan kota Mekah.

"Seakan aku ingat Rasulullah yang sedang berkhutbah di atas mimbar dengan bersorban hitam. Ujung sorban beliau biarkan di antara kedua pundak beliau." (HR Muslim)

Pendapat kedua, merupakan pendapat mayoritas ulama' yaitu warna putih merupakan warna yang dianjurkan baik untuk khatib ataupun bukan.

Imam Syafi'i mengatakan, "Warna yang paling aku sukai adalah warna putih." (al Umm, 1/337).

Al Mawardi mengatakan, "Di antara kebiasaan Nabi dan para khalifah yang empat memakai pakaian yang berwarna putih." (lihat al Hawi al Kabir, 2/440).

Imam Nawawi berkata, "Hendaknya khatib


mengenakan pakaian terbaik yang dia miliki dan yang paling utama adalah yang berwarna putih" (al Majmu',
4/368).

Ibnu Qudamah berkata, "Pakaian yang paling utama adalah pakaian yang berwarna putih karena Nabi bersabda, 'Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang berwarna putih. Gunakanlah sebagai pakaian kalian dan kain kafan kalian." (al Mughni, 3/229).

Jika kita cermati sabda Nabi maka beliau menyebutkan bahwa pakaian yang terbaik adalah pakaian yang berwarna putih. Sedangkan secara praktek, Nabi mengenakan pakaian berwarna hitam namun tanpa dikaitkan dengan hari Jum'at.

Dari Aisyah, beliau bertutur, "Pada suatu pagi Nabi keluar rumah dengan berselimutkan pakaian berwarna hitam." (HR. Muslim)

Dari Jabir, "Sesungguhnya ketika Nabi memasuki kota Mekkah pada saat Fathu Mekkah beliau mengenakan sorban berwarna hitam." (HR Muslim)

"Sesungguhnya Nabi berkhutbah di hadapan para sahabat saat Fathu Makkah dengan bersorban hitam." (HR. Muslim)

Dari Aisyah, "Kubuatkan untuk Rasulullah pakaian berwarna hitam lalu beliau kenakan. Ketika beliau berkeringat, beliau dapatkan bau wol lalu beliau campakkan pakaian tersebut karena beliau menyukai bau yang harum." (HR. Ahmad)


Belum kita dapatkan satupun hadits yang menjelaskan bahwa Nabi memakai pakaian berwarna putih ataupun hitam. Yang kita dapatkan adalah hadits-hadits yang bersifat umum tanpa dikaitkan dengan hari Jum'at.

Tapi jika dicermati dengan seksama, terdapat kaedah bahwa sabda Nabi itu berlaku untuk seluruh umat beliau. Sedangkan Nabi telah memotivasi agar memakai pakaian berwarna putih. Berdasarkan hal tersebut pakaian berwarna putih itu lebih utama. Akan tetapi jika terkadang, seorang khatib berpakaian serba hitam maka tidak apa-apa asal tidak dilakukan terus menerus karena terus menerus berpakaian hitam saat menjadi khatib Jum'at adalah bid'ah sebagaimana penegasan para ulama.

Al Mawardi mengatakan, "Yang pertama kali berkhutbah dengan berpakaian hitam-hitam adalah Bani Abbasiyyah pada masa pemerintahan mereka sebagai simbol mereka." (al Hawi al Kabir, 2/440)

Ibnul Qayyim berkata, "Bani Abbasiyyah menjadikan warna hitam sebagai simbol bagi mereka, para gubernur, dan para penceramah mereka. Padahal Nabi tidak pernah memakai pakaian tertentu sebagai simbol beliau pada saat berhari raya, shalat Jum'at dan pertemuan dengan banyak orang. Akan tetapi kebetulan saat Fathu Mekkah beliau memakai sorban berwarna hitam, namun ini bukanlah pakaian para sahabat yang lain. Bahkan tidak semua pakaian Nabi berwarna hitam kala itu. Buktinya, kala itu bendera Nabi berwarna putih." (Zaadul Ma'ad, 3/358).


27
Lebih jauh lagi, al Ghazali berpandangan makruhnya khatib berpakaian hitam. Beliau mengatakan, "Memakai pakaian berwarna hitam bukan termasuk sunnah Nabi dan tidak pula mengandung nilai lebih. Bahkan sejumlah ulama berpendapat bahwa memandang pakaian tersebut hukumnya makruh karena hal tersebut merupakan perkara yang diada- adakan setelah Rasulullah." (Ihya' Ulumid Din, 1/181).

Pada kesempatan yang lain beliau berkata, "Semata- mata warna hitam untuk seorang khatib bukanlah perkara yang makruh namun juga tidak dianjurkan karena pakaian yang paling Allah cintai adalah yang berwarna putih." (Ihya' Ulumud Din, 2/336).




Jangan Tiru Mereka

Di antara kaedah penting dalam agama kita adalah kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan tidak diperbolehkan untuk menyerupai orang kafir baik dalam masalah ibadah, hari raya maupun pakaian yang menjadi ciri khas mereka. Ini merupakan kaidah penting dalam agama kita yang sudah tidak diindahkan oleh banyak kaum muslimin. Patut diketahui bahwa dalil-dalil yang menunjukkan benarnya kaidah di atas adalah banyak sekali baik dari ayat al-Qur'an maupun hadits-hadits Nabi. Berikut ini adalah di antara ayat al-Qur'an yang menunjukkan adanya kaidah di atas.

Allah berfirman yang artinya, "Kemudian Kami jadikan


kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui." (QS. Al-Jatsiah [45]: 18)

Ibnu Taimiyyah mengatakan, "Dalam ayat di atas Allah menceritakan bahwa Dia telah memberikan kenikmatan dunia dan agama untuk Bani Israil, mereka berselisih setelah kebenaran datang kepada mereka karena rasa dengki yang ada di antara mereka. Kemudian Allah jadikan Muhammad berada di atas syariat dan Dia perintahkan agar diikuti. Selanjutnya Allah melarangnya untuk mengikuti hawa nafsu orang- orang yang tidak tahu. Termasuk 'orang-orang yang tidak tahu' adalah semua orang yang menyelisihi syariat beliau. Sedangkan yang dimaksud hawa nafsu mereka adalah semua hal yang mereka inginkan termasuk di antaranya adalah perilaku lahiriah dari orang-orang musyrik yang merupakan konsekuensi dan turunan dari agama mereka yang batil. Itu semua merupakan bagian dari apa yang mereka inginkan. Mencocoki mereka dalam perilaku lahiriah berarti mengikuti keinginan mereka. Oleh karenanya orang- orang kafir gembira dan bersuka cita ketika kaum muslimin mengikuti sebagian perilaku mereka. Bahkan mereka rela mengeluarkan harta dalam jumlah besar agar peniruan itu terjadi. Andai meniru perilaku lahiriah orang kafir tidak termasuk mengikuti hawa nafsu orang kafir maka tidak disangsikan lagi bahwa menyelisihi orang kafir dalam perilaku lahiriah itu lebih memupus kemungkinan terjerumus dalam sikap mengikuti hawa nafsu mereka dan lebih membantu



agar mendapatkan ridho Allah dengan tidak mengikuti hawa nafsu orang kafir. Sesungguhnya meniru orang kafir dalam perilaku lahiriah itu bisa jadi sarana untuk mengikuti orang kafir dalam hal-hal yang lain. Karena siapa yang berani dekat-dekat dengan daerah larangan maka dia akan terjerumus di dalamnya. Dua penjelasan di atas bermuara pada satu titik yang sama yaitu mengikuti perilaku lahiriah orang kafir itu terlarang. Meski penjelasan yang pertama itu lebih tepat." (al Iqtidha', hal. 8).

Allah berfirman yang artinya, "Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah." (QS. ar-Ra'du [13]: 37)

Yang dimaksud dengan hawa nafsu mereka dalam ayat di atas adalah ahzab (kelompok orang kafir) yang mengingkari sebagian dari al-Qur'an. Sehingga termasuk dalam hal ini semua orang yang mengingkari sebagian dari al-Qur'an meskipun sedikit baik Yahudi, Nasrani ataupun yang lainnya.

Mengikuti orang kafir dalam hal yang merupakan ciri khas mereka baik terkait dengan agama mereka atau konsekuensi agama mereka adalah termasuk mengikuti hawa nafsu orang kafir. Bahkan karena hal yang lebih remeh lagi seorang bisa dinilai telah mengikuti hawa nafsu orang kafir.

Allah berfirman yang artinya, "Dan janganlah mereka



seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik." (QS. al-Hadid [57]: 16)

"Janganlah kalian seperti orang-orang yang " dalam ayat di atas merupakan larangan mutlak untuk menyerupai orang-orang kafir ahli kitab. Larangan tersebut secara khusus merupakan larangan untuk menyerupai ahli kitab dalam masalah memiliki hati yang keras. Sedangkan hati yang keras merupakan buah dari berbagai bentuk maksiat.

Tentang ayat ini Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 4/310 mengatakan, "Oleh karena itu Allah melarang orang- orang yang beriman untuk tasyabbuh/menyerupai ahli kitab dalam hal-hal pokok ataupun hal-hal yang bersifat rincian meski hanya sedikit."

Allah berfirman yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih." (QS al Baqarah [2]: 148).

Dalam kitab tafsirnya 1/148, Ibnu Katsir mengatakan, "Allah larang hamba-hambaNya yang beriman untuk tasyabbuh/menyerupai orang-orang kafir baik dalam perilaku ataupun dalam kata-kata. Orang-orang Yahudi memiliki perhatian untuk menggunakan kata- kata yang bermakna ganda namun yang mereka



maksudkan adalah makna jelek yang terkandung dalam kata-kata tersebut. Moga Allah melaknat mereka. Jika mereka ingin mengatakan kepada Nabi, "Dengarkanlah kami" mereka menggunakan kalimat
'Ro'inaa' yang bisa bermakna 'perhatikan kami' dan bisa bermakna 'dasar tolol'. Sedangkan sebenarnya
makna kedualah yang mereka maksudkan, sebagaimana firman Allah QS an Nisa'[4]:46. Demikian pula terdapat beberapa hadits yang menceritakan ulah mereka. Jika orang-orang Yahudi mengucapkan salam maka yang mereka ucapkan adalah 'assamu 'alaikum' sedangkan makna assamu adalah kematian. Oleh karena itu kita diperintahkan untuk menjawab salam mereka dengan mengatakan 'wa 'alaikum'. Doa kitalah yang akan terkabul sedangkan doa mereka untuk kita tidak akan terkabul. Ringkasnya Allah melarang orang- orang yang beriman untuk menyerupai (tasyabbuh) dengan orang-orang yang kafir baik dalam kata-kata maupun dalam tingkah laku."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, "Qotadah dan yang lainnya menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi suka mengatakan 'ro'inaa' kepada Nabi dengan maksud mengejek. Oleh karenanya Allah tidak suka jika orang-orang yang beriman berkata-kata semisal kata-kata orang Yahudi. Qotadah juga mengatakan bahwa orang-orang Yahudi sering berkata kepada Nabi,
'Ro-'inaa sam'aka' dengan tujuan mengejek Nabi karena kata-kata tersebut dalam bahasa Yahudi memiliki makna yang buruk. Uraian di atas menjelaskan bahwa
kaum muslimin dilarang mengucapkan kata-kata tersebut karena orang-orang Yahudi suka



mengatakannya meski maksud orang Yahudi jelek sedangkan maksud kaum muslimin dengan kata-kata tersebut tidaklah demikian. Karena menyerupai orang- orang Yahudi dalam kata-kata tersebut berarti menyerupai orang-orang kafir dan melapangkan jalan bagi mereka untuk mewujudkan tujuan mereka." (al Iqtidha', hal. 22).

Jelaslah dari ayat-ayat di atas bahwa meninggalkan perilaku orang-orang kafir dan menyerupai mereka dalam perbuatan, perkataan dan hawa nafsu mereka termasuk tujuan dan target yang dicanangkan dan diajarkan oleh al-Qur'an. Nabi pun sudah menjelaskan dan merinci hal tersebut kepada umatnya bahkan mempraktekkannya dalam berbagai rincian syariat. Demikian seriusnya Nabi dalam hal ini sampai-sampai orang-orang Yahudi yang tinggal bersama beliau di kota Madinah merasakan dan mengetahui bahwa Nabi ingin menyelisihi mereka dalam semua ciri khas mereka.

"Dari Anas bin Malik, Di antara kebiasaan orang-orang Yahudi jika terdapat seorang perempuan yang dalam kondisi haid maka mereka tidak mau makan bareng bahkan tidak mau satu atap rumah dengan perempuan tersebut. Hal tersebut ditanyakan kepada Nabi lalu turunlah firman Allah yang artinya, "Mereka bertanya kepadamu tentang haidh " (QS. al Baqarah [2]: 222). Nabi lantas bersabda, "Lakukanlah segala sesuatu asal bukan hubungan biologis." Setelah sabda Nabi ini sampai ke telinga orang-orang Yahudi maka mereka berkomentar, "Orang ini hanya punya keinginan untuk menyelisihi semua perilaku kita." (HR Muslim)." [Jilbab Mar'ah Muslimah, hal. 161-165].





























Apa arti Anda seorang Muslim ??




















Apa Ertinya Anda
Seorang
MUSLIM..?







Oleh:
Sayyid Abu al-A’la Al-Maududi




















APAKAH KITA SEBENARNYA SEORANG MUSLIM
??

Ada beberapa kalimah yang sering bermain di bibir setiap orang, kecil atau besar, tetapi tidak ramai di kalangan mereka yang memahami dengan mendalam dan sungguh- sungguh akan pengertian kalimah-kalimah itu.
Dan oleh kerana terlampau banyak dipertuturkan maka dengan sendirinya terbentuklah suatu pengertian secara singkat di fikiran setiap orang. Bila seseorang menyebut kalimah tersebut maka pengertian itulah yang dimaksudkan olehnya; dan begitu juga bila seseorang mendengar ianya disebut maka yang segera terlintas di fikirannya ialah pengertian yang sempit itu juga, sedangkan makna dan ertinya yang tepat dan padat
masih lagi kabur di kalangan golongan terpelajar, apa lagi di kalangan golongan awam yang jahil.

Umpamanya dua kalimah "ISLAM" dan "MUSLIM", alangkah larisnya ia diucapkan. Tetapi berapa ramaikah di kalangan mereka yang menyebutnya itu yang merasakan dengan sungguh-sungguh pengertian yang terkandung di dalam dua kalimah itu. Berapa ramaikah di kalangan mereka yang mendengarnya yang memahami dengan mendalam apa yang tersirat dari maksudnya.
Sesungguhnya di kalangan orang muslimin sendiri - belakangkan yang bukan muslimin -
99% bahkan lebih ramai lagi yang mendakwa diri mereka muslim dan mengaku agama mereka Islam, tetapi mereka tidak mengetahui apakah dia muslim dan apakah dia Islam yang sebenarnya.
Maka hari ini marilah kita mengambil sedikit waktu untuk memahami dua kalimah ini.

Jika anda melihat kepada gelagat manusia di segi i'tikad dan amalan, anda akan dapati mereka kebanyakannya terbahagi kepada tiga golongan.
Pertama: Orang yang dengan terang-terang mengagungkan kebebasan berfikir dan
beramal. Setiap perkara dalam hidup mereka hanya berpegang kepada pendapat mereka sendiri dan hanya yakin pada apa yang diputuskan oleh fikiran mereka. Cara bekerja bagi mereka ialah apa yang pada pandangan mereka betul. Mereka tidak mempunyai hubungan langsung dengan mana-mana agama dan tidak mengikutinya.

Kedua: Terdiri dari orang-orang yang zahirnya berpegang pada suatu agama yang tertentu, tetapi pada hakikatnya mereka mematuhi pendapat dan fikiran mereka sendiri. Mereka tidak pernah merujuk kepada agama untuk mengambil pegangan-pegangan





atau peraturan hidup. Kadang-kadang mereka mengambil setengah pegangan mengikut kehendak hawa nafsu, kecenderungan dan keperluan diri dan hidup mereka. Mereka bekerja dengan cara sendiri kemudian cuba menyesuaikan agama mengikut rekaan mereka.
Maka mereka pada hakikatnya bukan penganut agama, tetapi agama yang menjadi penganut hawa nafsu mereka.

Ketiga: Terdiri dari golongan yang tidak mempergunakan akal mereka, malah memberhentikannya langsung. Lalu mereka pun merangkaklah di belakang manusia dengan mengikut mereka secara membabi-buta; sama ada manusia-manusia itu datuk nenek mereka atau orang-orang yang semasa dengan mereka.

Golongan yang pertama, mereka ini tenggelam dalam kebebasan sehingga mereka
tidak mengetahui sempadan yang sebenarnya. Memang kebebasan bekerja dan berfikir itu sesuatu yang betul kalau menurut had-hadnya, tetapi bila sudah melampaui batas dia akan menjadi sesat. Seseorang yang hanya bergantung pada pendapat sendiri semata- mata dan menghukum menurut akalnya sahaja dalam semua perkara akan terjerumus dalam salah faham dan kesilapan. Dia merasakan bahawa ilmu dan akalnya telah meliputi semua perkara di dunia ini. Tidak ada suatu hakikat pun dan tidak ada satu kebaikan pun yang terlindung dari pengetahuannya. Dia menyangka bahawa dia mengetahui tanda-tanda di setiap jalan, mengetahui setiap kesudahan suatu perkara sepertimana dia mengetahui permulaannya.
Sebenarnya sangkaan seperti ini - bahawa dia mengetahui serta dapat memikirkan semua perkara - pada hakikatnya adalah salah. Kalau seseorang itu mempergunakan akalnya dengan sebenarnya nescaya akal itu akan menunjukkannya bahawa ia - akal - tidak bersifat sepertimana yang disangkakan.
Sesungguhnya seseorang yang memilih akalnya sebagai pemandu dan hanya menuruti jalan yang ditunjukkan oleh akal semata tidak akan terselamat dari kegelinciran, perlanggaran, kebinasaan dan kesesatan.

Kebebasan berfikir dan bekerja seperti ini juga merbahaya bagi sesuatu negara/perkumpulan masyarakat. Kerana kebebasan berfikir ertinya seseorang itu tidak akan percaya kecuali apa yang betul menurut fikirannya dan tidak akan menurut suatu jalan kecuali apa yang ditunjukkan oleh akalnya. Sedangkan mengikut kehendak masyarakat pula kebalikan dari itu; iaitu setiap individu yang berada didalam sesuatu masyarakat wajiblah mengikut prinsip-prinsip dan dasar-dasar pokok yang terdapat dalam masyarakat itu. Tindak-tanduknya mestilah bersesuaian dengan adat dan kebudayaan serta undang-undang yang mengatur kehidupan masyarakat.
Ini bererti bahawa kebebasan berfikir dan bekerja itu bertentangan dengan kehendak cara hidup bermasyarakat.

Sesungguhnya kebebasan seperti ini sering mencetuskan sifat-sifat keakuan, keegoan dan kekacauan di kalangan individu, sedangkan masyarakat & negara menghendaki mereka supaya patuh, taat dan setia. Oleh itu di mana ada kebebasan yang mutlak maka tidak adalah tamadun negara dan di mana ada tamadun maka tidak dapat tidak mereka terpaksa mengorbankan sedikit daripada kebebasan berfikir dan beramal demi keuntungan yang lebih banyak.

Golongan yang kedua pula lebih buruk keadaannya dari golongan pertama. Golongan pertama hanya sesat sahaja, tetapi golongan kedua pendusta, penipu serta munafik. Sekiranya seseorang itu dapat menyesuaikan antara agamanya, fikirannya dan






kecenderungannya dalam batas-batas yang sihat, maka dia boleh mengikuti agama dengan tidak mengurangkan kebebasannya dalam berfikir dan bekerja. Begitu juga seandainya kecenderungan seseorang berlawanan dengan agama, dia rela menerima hukum agama dan menyalahkan kecenderungannya maka betullah dakwaannya bahawa ia mengikuti agama itu.
Tetapi sebaliknya jika prinsipnya dan amalannya terang-terang menyalahi ajaran agama, namun dia tetap menganggap bahawa fikirannyalah yang betul sedang ajaran agarna itu salah, kemudian dia cuba pula mengolah ajaran agama supaya sesuai dengan fikirannya dan tabiatnya; maka orang yang serupa ini kita tidak sahaja menggelarnya bodoh kerana orang yang bodoh tidak mungkin melakukan penipuan dan kepesongan yang seperti ini, bahkan kita akan memanggilnya pendusta dan pembohong. Dan kita akan terpaksa menuduh bahawa dia tidak berani menhentam agama dengan terus-terang lalu dia mendakwa beriman dengan secara munafik. Jika tidak maka apakah gerangan yang menghalangnya berpindah terus dari agama yang ajarannya bertentangan dengan akalnya dan berlawanan dengan fikirannya serta menyekatnya dari mengikuti jalan yang disukai oleh hatinya dengan sepenuhnya, malah jalan yang telah dilaluinya dengan sebenarnya.

Dan golongan yang ketiga adalah paling jelek sekali berbanding dengan golongan yang lain di segi kewarasan akal. Adapun kesalahan dua golongan tadi ialah mereka membebankan akal dengan sesuatu yang di luar kemampuannya, tetapi kesalahan golongan ini mereka tidak mempergunakan akal langsung, atau menggunakannya dengan penggunaan yang tidak dapat dibezakan antara ada dengan tidaknya.
Manakah keaiban yang lebih besar dari seorang berakal yang berpegang pada suatu akidah yang tertentu tetapi tidak mempunyai sebarang dalil akan kebenaran akidah yang dipegangnya itu kecuali hanya semata-mata ajaran itu dianuti oleh datuk neneknya atau lantaran itulah yang dipegang oleh sesuatu bangsa yang sedang berada di puncak ketinggian di zaman itu.
Sesungguhnya orang-orang yang memegang suatu jalan dalam hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan atau keduniaan yang diwarisinya dari datuk nenek atau generasi yang terdahulu, ataupun ia memilih jalan lain berdasarkan bahawa jalan itulah yang sedang dikagumi di kalangan bangsa-bangsa yang maju ketika itu, maka orang yang seperti ini seolah-olah telah menonjolkan dirinya bahawa dalam kepalanya tidak ada otak atau dalam otaknya tidak ada kekuatan untuk berfikir. Dia tidak punya potensi untuk membezakan antara yang salah dengan yang betul.
Andainya dia secara kebetulan dilahirkan di rumah Yahudi maka dia akan percaya akan kebenaran agama Yahudi. Kalau dia dilahirkan di rumah Islam maka dia percaya akan kebenaran Islam. Atau dilahirkan dalam keluarga Kristian maka dia akan menjadi penganut Kristian.
Begitulah dengan secara kebetulan juga, yang berkuasa di zamannya bangsa kulit putih barat maka dia menganggap setiap tradisi barat itu lambang kemajuan dan neraca kehebatan. Kalau yang berkuasa di zamannya orang Cina nescaya baginya tradisi Cinalah yang menjadi lambang kemajuan. Dan kalau yang berkuasa hari ini orang
Negro di Afrika maka tidak syak lagi Negrolah yang menjadi lambang ketamadunan manusia di sisi orang yang berfikiran cetek tadi.

Sebenarnya bukanlah suatu bukti yang boleh diterima bahawa sesuatu itu dikatakan betul atau benar kerana ia telah diamalkan oleh datuk nenek atau generasi yang terdahulu atau kerana ia diamalkan oleh dunia hari ini.
Andainya orang-orang bodoh yang dahulu dan sekarang melakukan sesuatu, kita tidak seharusnya mengikuti orang orang itu dengan membuta-tuli. Tidak sepatutnya kita






menuruti setiap jejak orang lama atau moden tanpa dikaji dan difikirkan dahulu. Apakah kita mahu menambatkan diri kita di setiap ekor binatang yang ditunggangi orang tanpa mempersoalkan apakah ia berlari ke jalan yang penuh duri atau sedang menuju ke jurang kesesatan?
Sesungguhnya kita telah diberi akal supaya kita dapat membezakan antara yang betul dan yang palsu. Sebelum kita mengikuti seseorang hendaklah kita melihat terlebih dahulu: Mahu ke manakah orang ini?

Islam telah menganggap ketiga-tiga jenis orang ini sebagai terjerumus dalam kebatilan dan kesesatan.
Adapun golongan yang pertama mereka tidak memilih orang yang membawa cahaya sebagai pemandu bagi mereka dan di tangan mereka sendiri juga tidak mempunyai cahaya yang sebenar untuk menyuluh jalan hidup mereka. Mereka tidak ubahlah seperti melontar benda yang tidak ada atau meraba di dalam gelap-gelita. Tidak boleh melangkah ke mana-mana atau akan terjerumus ke jurang bahaya kerana mereka
hanya mengagak-agak sendiri tanpa suatu kepastian. Mereka menghadapi dua kemungkinan; sama ada salah atau betul, tetapi lebih dekat kepada kesalahan.
(Dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu (sembahan-sembahan) selain Allah,
tidak mengikuti suatu keyakinan kecuali prasangka belaka. Dan mereka hanyalah berdusta) Yunus: 66.

(Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka sedang sesungguhnya prasangka itu tidak berguna sedikitpun untuk mencapai kebenaran) An-Najm: 28.
(Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. Padahal sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka. Atau apakah manusia akan dapat segala yang dicita-citakannya) An- Najm: 23-24.
(Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmunya dan Allah telah mengunci mati pendengarannya dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberi petunjuk sesudah Allah?) Al- Jaatsiyah: 23.
(Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk orang-orang yang zalim) Al-Qashash: 50.

Pendukung golongan kedua di zaman turunnya Al-Quran ialah Bani Israel yang mendakwa menjadi pengikut Nabi Musa a.s. dan berpegang pada Taurat, tetapi pegangan dan amalan mereka kebanyakannya berlawanan dengan pimpinan Musa a.s. dan ajaran Taurat. Mereka tidak segan-segan dengan penyelewengan mereka itu. Mereka bukan memperbetulkan fikiran dan amalan mereka. Mereka menyembunyikan ajaran Taurat yang asal dan menggantikan di tempatnya fikiran mereka sendiri seolah- olah itulah pengajaran yang diturunkan. Orang-orang yang cuba memberikan kesedaran kepada mereka dari berterusan dalam kesesatan dan maksiat dan mengajak mereka kembali mengikut ajaran Allah yang berlawanan dengan hawa
nafsu mereka disambut dengan celaan dan cacian sehingga kadang-kadang ada yang dibunuh.
Kepada mereka ini Allah berfirman:
(Mereka suka merobah perkataan Allah dari tempat-tempatnya dan mereka sengaja melupakan sebahagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya dan kamu






(Muhammad) sentiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka yang tidak berkhianat) Al-Maaidah: 13.
(Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampur-adukkan yang hak dengan yang batil dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahuil) Al Imran:71.
(Setiap datang seorang Rasul kepada mereka dengan membawa apa yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, maka sebahagian dari Rasul-Rasul itu mereka dustakan dan sebahagian yang lain mereka dibunuh) Al-Maaidah: 70.

Kemudian dengan terang-terang Allah berkata kepada mereka:
(Katakanlah: Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat dan Injil dan apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu (Al-Quran) Al Maaidah: 68.

Dan tentang golongan yang ketiga pula Allah berfirman :
(Dan apabila dikatakan kepada mereka: "lkutilah apa yang telah diturunkan Allah!" Mereka rnenjawab: "Tidak! Tetapi kami hanya mengikut apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek rnoyang kami!" Apakah mereka akan mengikuti juga walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk) Al- Baqarah: 170.
(Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikut kepada apa yang diturunkan
Allah dan kepada Rasul." Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapa-bapa kami mengerjakannya." Apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula rnendapat petunjuk?) Al-Maaidah: 104.
(Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini nescaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta) Al-An'aam: 116.

Golongan ketiga:
Sesungguhnya orang-orang yang tidak menggunakan akal dan fikiran mereka dan tidak tahu membezakan dengan sendiri antara yang betul dan yang salah, malah mengikut sahaja orang lain dengan buta tuli telah dihukum oleh Al-Quran dengan:
(Mereka tuli, bisu dan buta. Mereka tidaklah akan kembali ke ialan yang benar) Al-
Baqarah: 18.
Dan diumpamakan mereka seperti binatang, bahkan lebih jelek darinya, kerana binatang tidak mempunyai akal, sedangkan mereka mempunyai akal tetapi tidak mempergunakannya.
(Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai) Al-A'raaf: 179.

Ketiga-tiga golongan yang melampau dan keterlaluan ini telah ditolak oleh Al-Ouran dan menggantikannya dengan suatu umat yang sederhana dan stabil, umat pertengahan yang menegakkan keadilan.

Apakah jalan pertengahan dan kestabilan ini? Inilah jalannya!
Pertama-tama tembusilah segala benteng kebudayaan lama dan aliran-aliran baru yang terbentang di hadapan anda.
Bukalah mata anda dalam pancaran akal yang sejahtera dan waras dan pandanglah
dengan sendiri yang mana haq dan yang mana batil. Apakah atheisma yang betul atau ketuhanan? Apakah tauhid yang betul atau syirik?





Apakah untuk merentasi jalan lurus manusia berhajat kepada hidayat Allah Taala atau tidak?
Apakah para Nabi dan Muhammad a.s. semuanya benar atau dusta - barang dijauhkan Allah ?
Apakah jalan yang ditunjukkan oleh Al-Quran itu lurus atau bengkang-bengkok?
Andainya hati anda mengiktiraf bahawa:
fitrah manusia memerlukan keimanan kepada Tuhan dan, Tuhan itu ialah Allah yang tiada sekutu bagi-Nya dan,
hati kecil anda mengakui bahawa manusia tidak dapat dinafikan lagi berhajat kepada nur dari sisi Allah demi merentasi jalan yang lurus dalam hidupnya dan nur itu ialah apa yang telah dibawakan oleh para Nabi dan Rasul a.s. yang merupakan petunjuk kebenaran untuk manusia sepanjang zaman dan, sesungguhnya kehidupan murni yang dihayati oleh Nabi Muhammad s.a.w. di dunia ini menunjukkan bahawa manusia yang menjalani kehidupan yang penuh dengan kesucian yang maha tinggi itu tidak mungkin sekali-kali menipu alam sejagat - jika ia telah mendakwa bahawasanya ia seorang Rasul dari sisi Allah maka sudah pasti dakwaannya itu benar - dan,
jika anda membaca Al-Quran, akal anda memutuskan bahawa jalan yang lurus untuk dijadikan pegangan dan amalan ialah yang dibentangkan oleh kitab ini dan,
kitab ini tidak diragukan lagi datangnya dari sisi Allah,
maka seharusnya anda jangan takut lagi kepada celaan orang yang mencela atau keengkaran orang yang degil. Sebaliknya bersihkanlah hati anda dari segala ketakutan akan kekurangan atau ketamakan akan keuntungan dan beriman serta yakinlah dengan apa yang telah diakui oleh diri dan hati anda sendiri akan kebenarannya.

Dan apabila anda telah :
membezakan antara yang benar dengan yang palsu dengan akal yang waras yang dianugerahkan oleh Allah kepada anda dan, anda telah memilih yang benar dari yang palsu, maka telah selesailah tugas akal anda dalam mengkaji dan mengkritik. Lalu berpindahlah kuasa pemerintahan dari akal manusia kepada Allah dan Rasul. Tidak mungkin lagi bagi anda sesudah itu membuat keputusan dengan sendiri dalam seluruh hidup anda. Sebaliknya anda wajib mematuhi setiap apa yang perintahkan oleh Allah dan Rasul.

Memang anda tidak ditegah dari mempergunakan akal untuk memahami hukum-hukum dan mengkaji hikmah hikmahnya untuk dilaksanakan dalam setiap aspek kehidupan, tetapi anda tidak harus meragui dan mengungkit-ungkit apa yang disuruh oleh Allah, sama ada:
1 anda memahami hikmatnya atau tidak,
2 sama ada ianya secocok dengan ukuran akal anda atau tidak,
3 sama ada diputuskan oleh Allah dan Rasul itu mendatangkan keuntungan untuk dunia anda atau tidak dan,
4 sama ada perintah Rasul itu sesuai dengan adat dan cara hidup yang diminati oleh orang ramai di dunia atau bertentangan dengannya;
MAKA tidak harus lagi bagi anda dalam semua keadaan itu kecuali tunduk dan patuh. Kerana apabila anda beriman kepada Allah, percaya akan Rasul serta yakin bahawasanya setiap apa yang diseru oleh Rasul itu adalah datangnya dari Allah, bukan dari dirinya sendiri (Dan dia tidak berkata menurut kemahuan hawa nafsunya sendiri, perkataan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.)An Najm: 3-4, maka logiknya dari penyerahan dan keyakinan ini anda mengutamakan apa yang diputuskan oleh Allah dan Rasul dari apa yang diputuskan oleh akal anda dan tidak seharusnya anda mengkritik dan mengomen perintah-perintah dan larangan-




larangan yang dibawa oleh Nabi dari sisi Allah dengan mempergunakan keintelekan dan percubaan ujikaji orang lain.

Sesungguhnya orang yang berkata: “Aku orang yang beriman”, kemudian selepas itu
ia meragui dan mengungkit-ungkit apa yang didatangkan dari Allah maka ertinya ia telah menolak dakwaannya sendiri dan membatalkan apa yang telah diucapkannya. Ia tidak mengetahui bahawa iman dan ragu adalah dua perkataan yang berlawanan yang tidak mungkin dicantumkan.
Setiap peraturan dan disiplin itu dibina diatas asas taat dan patuh, sedangkan keraguan dan ungkitan tidak mendatangkan sesuatu kecuali kekacauan dan kezaliman.
Maka jalan yang sederhana dan stabil inilah yang dinamakan sebagai 'ISLAM' dan golongan yang mengikuti jalan inilah yang digelar 'MUSLIM'.
Sesungguhnya Islam bererti tunduk, patuh dan redha. Dan muslim ialah orang yang
patuh kepada perintah pemerintah dan larangan pelarang dengan kepatuhan yang penuh redha. Maka penamaan ini dengan sendirinya menunjukkan bahawa tidak dibangkitkan golongan yang keempat ini di dunia berasingan dari tiga golongan di atas serta jalan-jalan mereka yang sesat, kecuali supaya mereka mengikuti perintah Allah dan Rasul dan tunduk kepadanya. Sesungguhnya:
tidak harus bagi golongan ini mengikuti akalnya pada setiap urusan,
tidak harus baginya mempermainkan hukum Allah dengan mengambil apa yang sesuai dengan nafsunya dan meninggalkan apa yang tidak sesuai,
tidak harus baginya melemparkan Kitab Allah dan Sunnah Rasul ke belakang dan melencong mengikut manusia-manusia dengan buta tuli, sama ada manusia-manusia yang masih hidup atau sudah mati.
Hakikat ini telah disebut oleh Al-Quran dengan jelas. la berkata bahawa apabila datang perintah Allah kepada orang mukmin maka tiada lagi pilihan baginya.
(Dan tidaklah patut bagi lelaki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul telah manetapkan suatu ketetapan, maka ada lagi bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa menderhakai Allah dan Rasul-Nya rnaka dia telah sesat, sesat yang nyata) Al-Ahzab: 36.
Dan ia berkata bahawa seorang yang mengambil sebahagian dari Kitab Allah dan meninggalkan sebahagian yang lain akan membawa kepada kehinaan di dunia dan akhirat.
(Apakah karnu beriman kepada sebahagian Al-Kitab dan engkar terhadap sebahagian
yang lain? Tiadalah balasan orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan kepada seksa yang sangat berat. Allah tidak lalai dari apa yang kamu perbuat) Al- Baqarah: 85.

Dan Al-Quran berkata lagi bahawa hukuman orang mukmin pada sesuatu kes tertentu wajiblah berpandu kepada Kitab Allah sekalipun sesuai dengan kehendak hawa nafsunya ataupun bertentangan dengannya.
(Putuskanlah perkara mereka rnenurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu) Al-Maaidah:48.

la berkata juga sesiapa yang tidak menghukum menurut Kitab Allah maka ia adalah fasik.
(Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan oleh Allah maka rnereka itu adalah orang-orang yang fasik) Al-Maaidah: 47.






Dan setiap hukuman yang berlawanan dengan Kitab Allah maka itu adalah hukuman
Jahiliah.
(Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki Dan hukum siapakah yang lebih balk daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakinl) Al-Maaidah: 50.
Kamudian Al-Quran berkata:
(Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan orang-orang yang memegang kekuasaan di antara kamu. Kemudian jika kamu barlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikan lah ia kepada Allah (Quran) dan Rasul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kapada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan mengengkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kapada mereka: "Marilah kamu tunduk kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul," nescaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi manusia dengan sekuat-kuatnya dari mendekati kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian meraka datang kepadamu sambil bersumpah: Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka, kerana itu berpalinglah kamu daripada mereka dan berilah mareka pelajaran dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.
Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dangan izin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiayai dirinya datang kepadamu lain memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu. mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.) An Nisaa': 59-65.
Sesungguhnya telah nyatalah dari ayat-ayat yang jelas ini sudut penamaan Islam dan Muslim. Dan kini wajiblah di atas kita yang nama-nama kita tercatat di dalam senarai Muslimin/muslimah melihat dan berfikir sejauh manakah kalimah muslim ini telah menepati diri kita dan sejauh manakah benarnya cara hidup yang kita ikuti sekarang boleh dinamakan ISLAM !





















Senin, 29 Agustus 2011

menyambut tahun baru


Tret tet…tet…tet… ! begitu gemuruh bunyi terompet hias di mana-mana. Tradisi ini selalu terdengar di setiap pergantian tahun Masehi, utamanya beberapa hari sebelum tanggal 1 Januari.
Puncak acara, adalah detik-detik terakhir menuju tepat pukul 00.00. Tanpa dikomando, serentak terompet dibunyikan di berbagai penjuru dunia.

Terompet telah identik dengan tahun baru Masehi. Anak kecil, remaja, orang dewasa dan tidak ketinggalan para lanjut usia apapun ras dan agamanya termasuk kaum Muslimin dengan wajah riang dan suka cita meniup terompet untuk menyambut datangnya tahun baru tersebut.

Meniup terompet merupakan salah satu dari sekian banyak cara menyambut dan merayakan tahun baru Masehi. Masih ada banyak cara, acara, upacara dan aktivitas lainnya yang diadakan. Ada pula acara-acara yang diadakan oleh sebagian kaum Muslimin yang mengambil lokasi di beberapa tempat seperti masjid, lapangan dan sekolah. Acara-acara tersebut diisi dengan aktivitas-aktivitas yang bernilai Islam seperti muhasabah, tausiyah, mabit. Juga diisi dengan do’a, tahlil, tahmid dan dzikir berjama’ah, Bahkan perlunya muhasabah dan memanjatkan do’a pergantian tahun dalam menyambut tahun baru Masehi disinggung sebagian ustadz, ustadzah, da’i, da’iyah dan khotib di dalam ceramah, tausiyah dan khutbah mereka

Semua aktivitas dan acara yang berkaitan dengan datangnya tahun baru Masehi - baik yang bernilai Islam maupun yang tidak - telah menjadi adat kebiasaan, keharusan serta gaya, pola dan cara hidup banyak orang Islam di banyak tempat. Semua itu dianggap wajar oleh mereka. Meniup terompet dan melakukan berbagai aktivitas acara tahun baru tersebut dilakukan dengan senang dan ringan hati tanpa bersikap kritis dan mempertanyakan apakah yang dilakukannya bernilai ibadah atau tidak. Pertanyaan tersebut sangat vital bagi setiap Muslim karena tujuan hidup diciptakannya manusia hanyalah untuk beribadah kepada Allah.
Allah berfirman yang artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (mengabdi) kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]:56)

Jika bernilai ibadah, apapun pekerjaan yang bersifat duniawi akan mendatangkan pahala dan ridho Allah. Jika tidak bernilai ibadah, pelakunya hanya akan mendapatkan hal-hal yang bersifat duniawi. Itu adalah sebuah kerugian bagi seorang Muslim. Pekerjaan apapun selain ibadah yang bersifat ukhrowi bisa bernilai ibadah dan bisa diniatkan sebagai ibadah jika pekerjaan tersebut termasuk kategori amal sholeh, serta baik dan benar menurut ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Selain itu jika melakukannya atas dasar iman, serta ada niat di dalam hati melakukan pekerjaan tersebut untuk menggapai ridho Allah.
Pertanyaan kedua, yang harus dijawab adalah jika tidak bernilai ibadah apakah perbuatan itu adalah perbuatan dosa. Jika memang jelas itu adalah perbuatan dosa, maka setiap Muslim berkewajiban untuk tidak mempraktekkannya, serta menasehati dan mencegah orang lain terutama keluarga dan kerabat agar tidak melakukannya.

Allah berfrman yang artinya: “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr [103]:2-3)

Hakekat Tahun Masehi

Tahun Masehi adalah perhitungan tahun yang menggunakan kalender Julian dan Gregorian. Dalam bahasa Inggris dan dipergunakan secara internasional, istilah Masehi yang biasanya disingkat M disebut “Anno Domini” (AD) yang berarti Tahun Tuhan kita dan Sebelum Masehi yang biasanya disingkat SM disebut sebagai “Before Christ” (BC) yang berarti Sebelum Kristus. Kalender Julian dibuat oleh Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes seorang ahli astronomi dari Iskandariyah.

Kelender Masehi mulai dihitung dari tahun 1 M yang dianggap sebagai kelahiran Isa Al-Masih. Sedang masa sebelum kelahirannya disebut dengan Sebelum Masehi. Tahun Masehi dimulai dengan bulan Januarius yang diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua, satu muka menghadap ke depan dan yang satunya menghadap ke belakang. Dewa Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai gerbang menuju Tahun yang baru.
Sedangkan kalender Gregorian adalah kalender yang digunakan untuk mengoreksi dan menggantikan kalender Julian yang berlaku sejak 47 SM. Yang mengusulkannya ialah Dr. Aloysius Lilius dari Napoli Italia dan direstui oleh Paus Gregorius XIII pada tanggal 24 Februari 1582. Kalender ini disebut Gregorian karena dekritnya dikeluarkan oleh Paus Gregorius XIII. Pada awalnya kalender ini digunakan untuk menentukan jadwal kebaktian gereja-gereja Katolik dan Protestan, serta untuk menentukan hari perayaan Paskah yang berlaku di seluruh dunia.

Tahun baru Masehi pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM oleh bangsa Romawi dengan cara saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Setelah itu, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar dewa Janus. Selain saling memberikan hadiah di antara mereka, rakyat Romawi juga mempersembahkan hadiah kepada para kaisar. Lambat laun para kaisar pun mewajibkan rakyatnya untuk mempersebahkan hadiah-hadiah kepada mereka.

Pada Abad Pertengahan, setiap tanggal 25 Maret mayoritas bangsa Eropa merayakan pergantian tahun sebagai hari raya umat Kristen yang disebut Hari Kenaikan Tuhan. Selanjutnya pada tahun 1582 Paus Gregorius XIII mengubah hari perayaan tahun baru Umat Kristen dari tanggal 25 Maret menjadi 1 Januari kembali.
Di zaman ini kita bisa menyaksikan sendiri kedatangan tahun baru Masehi pasti beriringan dengan hari raya umat Kristen yakni Natal. Kita juga bisa menyaksikan sendiri dengan mudah ucapan hari Natal selalu satu paket dengan ucapan selamat tahun baru Masehi yang berbunyi “Merry Christmas and Happy New Year” (Selamat Natal dan Tahun Baru).

Dengan demikian jelaslah bahwa perayaan menyambut tahun baru Masehi adalah salah satu hari suci umat Kristen, serta identik dengan dan tidak bisa dipisahkan dari ajaran pagan Romawi dan agama Kristen.

Kesimpulan dan Harapan

Setelah mengetahui kenyataan tersebut dapatlah diambil kesimpulan bahwa menyambut dan merayakan tahun baru Masehi meskipun yang bernilai “Islam” tidak bisa dikategorikan sebagai ibadah dan tidak bisa diniatkan sebagai ibadah. Bukan hanya itu, bahkan semua cara, acara dan aktivitas meskipun sekedar meniup terompet untuk menyambut dan merayakan tahun baru Masehi merupakan perbuatan dosa dan tidak diridhoi Allah, serta mendatangkan murka dan azab Allah.
Dalam sebuah hadits yang diriwayat Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim disebutkan ada seorang lelaki yang datang kepada Rasulullah saw. untuk meminta fatwa kepada beliau karena ia telah bernadzar untuk menyembelih hewan di sebuah tempat bernama Buwanah, maka beliau bertanya kepadanya: “Apakah di tempat tersebut terdapat berhala orang Jahiliyah?” Dia menjawab: “Tidak”. Kemudian beliau bertanya lagi: “Apakah tempat tersebut digunakan untuk merayakan hari raya mereka?” Dia menjawab: “Tidak”. Maka beliau bersabda: “Tepatillah nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam” .

Dari hadits tersebut diatas dapat mudah dipahami haram hukumnya menyembelih hewan untuk Allah di tempat-tempat yang digunakan untuk menyembelih hewan yang dipersembahkan kepada selain Allah. Juga haram menyembelihnya di tempat-tempat yang digunakan orang-orang kafir untuk merayakan hari raya mereka. Dengan menyembelihnya di tempat-tempat tersebut dapat mengantarkan kepada perbuatan syirik kepada Allah dan berarti ikut mensyi’arkan syi’ar-syi’ar ajaran pagan dan agama-agama lain.

Semoga diri, keluarga dan generasi penerus kita tidak ikut-ikutan menyambut dan merayakan hari suci pemeluk ajaran pagan dan agama-agama lain. Semoga terbebas dari perbuatan syirik dan dari usaha-usaha mensyi’arkan ajaran pagan dan agama-agama selain Islam. Mari kita menyambut ridho Allah!

Abdullah al-Mustofa. Penulis adalah mahasiswa program Master ‘Ulumul Qur\'an di IIUM (International Islamic University Malaysia) dan ketua FUSSI (Forum Ukhuwah Sarjana Studi Islam) di IIUM

Minggu, 28 Agustus 2011

Sakit


Manusia tidaklah selalu berada pada kondisi yang fit dan sehat. Hampir setiap manusia pernah mengalami keadaan yang namanya sakit. Karenanya, karunia berupa kesehatan selayaknya menjadikan manusia semakin bersyukur kepada-Nya bukan menjadikan takabur, apalagi menjadi kufur.
Sakit, hendakalah tidak dimaknai dengan berbagai macam penafsiran negatif. Sebab hal ini justru akan menggiring kepada perasaan su’udzan (buruk sangka) kepada Allah SWT, yang berakibat tidak saja memperlambat kesembuhan tapi juga mengundang kemurkaan-Nya.

Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku menuruti persangkaan baik para hamba kepadaku. Hendaklah ia berprasangka sekehendaknya. Apabila ia berprasangka baik, maka akan baik, apabila ia berprasangka buruk maka akan buruk pula.” (HR.Thabrani). Jika berbaik sangka kepada-Nya, maka Insya Allah segala kesulitan akan menjadi mudah. Rasa sakit yang berat akan terasa lebih ringan.

Memang, adakalanya penyakit itu menjadi cobaan, musibah, ataupun adzab. Namun, sebaiknya manusia tidak terburu memandang secara negatif. Hal yang perlu diperhatikan adalah mengambil hikmah dari semua itu. Setiap penyakit, bisa diambil hikmah dan faedahnya untuk memperbaiki kualitas hidup.
Agar sakit tidak membuat stres tapi justru membahagiakan, maka kita harus melakukan beberapa langkah;

Pertama, Husnudzan (berprasangka baik) pada Allah. Jika kita berprasangka baik kepada-Nya, maka Allah SWT pun akan husnudzan kepada kita. Hal ini yang kelak membawa konskuesi positif bagi kesehatan dan di akhirat nanti rahmat-Nya dapat direngkuh. Husnudzan ini merupakan energi untuk memulihkan kondisi si sakit.
Sebaliknya, bila kita menuduh Allah dengan hal-hal negatif – Allah tidak kasihan, kejam dan tidak adil – maka rasa sakit itu bisa bertambah parah. Sebab, menurut psikolog, orang sakit yang terus-terusan dihantui perasaan negatif (negative thinking), akan memperkuat penyakitnya dan memperlambat kesembuhan.

Kedua, menghambil hikmah dan introspeksi diri. Terkadang, sakit mampu menyadarkan seorang hamba pada hakikat kehidupan. Mengubah manusia menjadi sosok yang kata Rasulullah SAW hamba al-Kayyis (cerdas). Sebagaimana yang perdah disabdakan oleh Rasulullah SAW, hamba yang cerdas adalah adalah hamba yang meletakkan ibadah untuk akhirat menjadi prioritas utama dalam hidupnya.

Tak jarang orang jahat atau ahli maksiat berubah menjadi lebih religius setelah ia didera penyakit. Kesadaran ini terbangun setelah ia bisa introspeksi diri. Musibah atau penyakit yang diderita hakikatnya teguran Allah agar seseorang itu kembali kepada Allah. Suatu musibah yang dapat menyadarkan itu jauh lebih baik dari pada kesehatan yang melalaikan.

Tentunya, hamba yang mampu menggali hikmah dibalik sakit ini hanyalah hamba yang sabar dalam menghadapi serangan penyakit ini. Tanpa sabar, seseorang tak akan mampu menyibak hikmah dan fadhilah (keutamaan) penyakit yang dideritanya. Ia pun bahkan tidak dapat memperoleh apa-apa. Pahala tidak, kesembuhan pun barangkali bakal lebih lama.

Tidaklah semua musibah yang kita pandang buruk, akan buruk pula di sisi Allah SWT. Keburukan di benak manusia belum tentu kejelekan di sisi Allah. “Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).

Mengambil Hikmah

Selain akan membantu penyembuhan – dari sisi kesehatan, positive thinking memiliki nilai tak terhingga dari pada sembuh itu sendiri. Sebagian manusia barangkali memandang sakit sebagai sesuatu yang buruk. Tapi bagi manusia beriman, sudut pandang negatif itu tidak mendapat tempat. Sakit, baginya justru merupakan karunia. Inilah yang menyebabkan dia harus tetap tersenyum bahagia, meski sedang sakit.

Bagi yang sedang sakit, janganlah bersedih, sebab terdapat pahala yang lumayan besar bagi orang yang tertimpa sakit. Pertama, Pahala dan Ridha Allah mengalir kepada orang yang sakit. Rasulullah SAW bersabda:
إن عظيم الجزاء مع عظم البلاء، وإن الله إذا أحب قوما ابتلاهم، فمن رضي فله الرضى ومن سخط فله السخط

“Sesungguhnya besar pahala itu seimbang dengan besarnya musibah. Apabila Allah mencintai suatu kaum, maka ia akan mengujinya. Barangsiap yang ridha maka dia mendapat keridhaan dan barangsiapa yang benci, maka baginya murka Allah.” (HR.Tirmidzi)


Menurut hadis di atas, sakit adalah sebuah karunia. Sebab, kondisi itu adalah sebagai bentuk rasa sayang Allah kepada hambanya. Selama sakit –jika sabar menerimanya –dosanya akan diampuni. Dalam hadis yang lain Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seorang hamba sakit atau sedang bepergian, maka pahalanya tetap ditulis seperti ketika ia dalam keadaan sehat atau mukim.” (HR. Bukhari). Kesalahan-kesalah yang pernah diperbuat Insya Allah juga akan dilebur oleh Allah SWT:
وما أصبكم من مصيبة فبما كسبت أيديــكم ويعفوا عن كثير


“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahanmu.” (QS. Asy-Syuraa:30).

Oleh karenyanya, orang sakit tidak perlu risau pahala ibadahnya berkurang. Seseorang shalat dengan berbaring – pada saat sakit – pahalanya sama besar dengan shalat orang normal. Allah SWT Maha Adil. Tidak akan membeda-bedakan pahala orang yang ibadahnya ‘tidak normal’.

Kedua, Sakit merupakan suatu kebaikan. Rasulullah SAW bersabda:
من يـــرد الله خيرا يصب منه

“Barang siapa yang dikehendaki Allah suatu kebaikan, maka Dia akan memberi orang itu cobaan.” (HR. Bukhari). Kebenaran sabda beliau sudah sering dibuktikan. Coba kita perhatikan betapa banyak orang yang fasiq, atau ahli maksiat, setelah tertimpa penyakit tertentu ia bertobat kembali ke jalan yang benar. Saat sakit mendera, ia bermuhasabah merenungi kehidupan dan menyadari segala kesalahan. Bahkan banyak pula kisah orang masuk Islam setelah ia sembuh dari penyakit. Ini merupakan kehendak Allah SWT kepada hambanya agar hambanya menjadi orang yang baik. Dalam hal ini sakit menjadi pintu hidayah Allah SWT. Maka seyogyanya, penderita sakit itu tidak stress dan depresi. Sebaliknya, patut disyukuri. Sebab, boleh jadi sakit itu membawanya ke pintu hidayah.

Ketiga, Meraih derajat yang tinggi. Dalam hadis dijelaskan bahwasanya cobaan itu dapat mengantar kepada derajat yang tinggi. “Ada seorang hamba yang meraih kedudukan mulia di sisi Allah bukan karena amalnya. Allah memberi cobaan dengan sesuatu yang ia tidak sukai hingga ia dapat meraih derajat mulia tersebut.” (HR. Abu Ya’la).

Tidak ada orang yang bebas penyakit. Sakit dan musibah adalah ketentuan Allah. Sakit bukan monopoli orang yang dianggap jelek. Semua manusia, para ulama dan Nabi pun mengalaminya.Bahkan para wali dan nabi paling berat cobaanya.
إن من أشد الناس بلاء الأنبـــياء، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم

“Sesungguhnya manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi. Kemudian yang orang setelahnya, orang setelahnya (orang yang derajatnya dibawahnya).” (HR. Ahmad).

Semakin tinggi derajat seseorang, semakin berat cobaan yang diderita. Seorang mu’min yang ditimpa penyakit berat atau cobaan yang pedih tidaklah berarti menjadi pertanda bahwa ia tidak diridhai oleh Allah. Nabi Ayyub pun diberi cobaan yang paling berat. Tapi beliau orang yang tinggi di sisi-Nya.

Nabi Ayyub as adalah seorang Nabi yang patut dijadikan teladan bagi orang yang didera penyakit. Nabi Ayyub as adalah Nabi yang kaya raya serba kecupukan dan tubuh yang sehat. Tapi, suatu ketika Allah SWT mengujinya dengan memberi penyakit – sehingga kekuatannya hilang. Tidak hanya itu, hartanya pun lambat laun berkurang. Yang lebih menyakitkan lagi istri dan anak-anaknya meninggalkan beliau. Kenyataan ini beliau alamai selama kurang lebih delapan belas tahun.

Jadilah beliau seorang yang terhinakan. Namun, bukan maksud Allah SWT merendahkan Nabi-Nya. Derajat dan kedudukan di sisi-Nya bahkan meroket. Sebab beliau betul-betul menerima dengan kesabaran. Karena kesabarannya, Allah SWT mengembalikan semua yang hilang. Kekuatan, kesehatan, harta, istri, anak dan kerabat akhirnya kembali kepada beliau.

Belajar dari kisah tersebut, kita sepatutnya menyadari bahwa kasih sayang Allah SWT itu begitu besar. Kasih sayang tidak selalu diwujudkan dalam bentuk harta melimpah, kekuatan dan kesehatan yang prima. Namun, terkadang Allah SWT mewujudkan perhatiannya dalam bentuk sesuatu yang menurut manusia ‘hina’ yaitu penyakit. Bahkan seringkali Allah malah mengadzab hambanya dengan memberi kekayaan.

Dengan kekayaan itu, si hamba terjerumus dalam kubangan maksiat. Sebaliknya betapa banyak kisah seseorang menjadi lebih salih setelah sembuh dari penyakit. Ini menunjukkan kenikmatan itu bisa menjadi laknat, dan penyakit berubah menjadi rahmat.

Maka, hendaklah kita mengingat-ingat perbuatan ketika sehat dahulu. Agar bisa berintrospeksi diri untuk lebih mensyukuri nikmat kesehatan dan menambah semangat untuk bersabar dan sembuh.[Kholili Hasib]

Bersyukur


HARGA terus melonjak naik, sementara lapangan pekerjaan makin susah. “Jangankan mencari yang halal, mencari yang haram saja susah, “ demikian rakyat kecil sering mengeluh.

Sementara di saat yang sama, sebagian orang menumpuk-numpuk harta dengan cara mengambil hak orang lain. Seperti banyak yang terjadi saat ini, sebagian orang mendapatkan harta dari hasil “memeras” orang lain. Mereka harus menipu atau melakukan korupsi dan berbagai cara-cara yang tidak halal.

Padahal semestinya uang tersebut diperuntukan bagi kemaslahatan orang banyak, namun karena banyak tangan-tangan jahil, harta yang seharusnya merata secara adil dinikmati oleh seluruh masyarakat, hanya dinikmati/dimiliki oleh sebagian kecil orang. Mereka mengira, selagi muda dan punya jabatan, kesempatan mengumpulkan harta agak menjadi modal baginya meraih ketenangan hidup dan kebahagiaan.

Hati yang redup

Antara harta dan ketenangan hati, sesungguhnya dua hal yang berbeda, yang tak ada hubungannya. Sebab, banyak orang berlimpah tapi dia tak mampu merasakan kebahagiaan dan ketenangan. Ia mampu menyewa hotel dan membeli tempat tidur yang mewah, namun tak bisa membeli rasa nyenyak.

Sementara di saat yang sama, banyak orang bisa bahagia dan tenang meskipun dengan harta yang minim. Di jalan, banyak kita saksikan tukang becak bisa mendengkur menikmati tidurnya, meski badannya tak cukup untuk duduk di kendaraan sederhana itu.

Sifat qana’ah inilah yang mampu menjadi salah satu potensi positif setiap manusia. Sikap qana'ah banyak didefinisikan sebagai sikap merasa cukup dan ridha atas karunia dan rezeki yang diberikan Allah SWT pada setiap manusia. Qana\'ah sering menjadi energi kehidupan dan membangkitkan semangat. Hal itu tidak lain dapat dijalani dengan cara menikmati hidup walaupun dengan segala kesederhanaan.

Orang yang selalu bersyukur tak akan dibuat pusing oleh kompleksnya warna-warni kenikmatan dunia di sekitar. Selalu menerima jatah pemberian Allah SAW. Sebab dia yakin bahwa, tiap manusia memiliki jatah rizki masing-masing yang dibagi secara adil oleh Allah SWT.

Sebagaimana dalam al-Quran, ”Dan tidak ada makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan dijamin oleh Allah rizkinya.” (QS. Hud: 8).

Sebaliknya, manusia yang tak pernah puas dengan materi yang diperoleh adalah manusia yang rentran terhadap stres, hatinya redup bahkan mati – walaupun hartanya melimpah. Hati yang mati dan gundah cenderung tidak mudah menerima kenyataan, sehingga apa yang didapat tidak pernah memuaskan.

Maka, jika kita ingin mengubah diri menjadi orang yang selalu bahagia, ceria dan tersenyum di berbagai kondisi, kini saatnya untuk mengubah cara pandang. Cara pandang positif, yaitu selalu bersyukur dengan karunianya dan hidup sederhana. Cara pandang lama, selalu tidak puas dengan rizki cepat-cepat dibuang saat inijuga.

Rasulullah SAW bersabda:“Jadilah kamu seorang yang wara’, nanti kamu akan menjadi sebaik-baik hamba Allah, jadilah kamu seorang qanaah, nanti kamu akan menjadi orang yang paling bersyukur kepada Allah, sedikitkanlah ketawa kerana banyak ketawa itu mematikan hati.” (HR. al-Baihaqi).

Orang yang qana’ah adalah orang yang tidak meletakkan kenikmatan dunianya di hati, ia senantiasa bersyukur apa yang sudah menjadi jatahnya.

Sedang, orang yang tidak bersyukur selalu dibuat pusing oleh kenikmatan yang diperoleh orang lain. Jika tetangganya bisa membeli satu mobil, dia terkungkung oleh ambisi untuk melebihinya, mampu membeli dua mobil. Jika belum bisa, ia dikejar perasaan tidak puas, makan pun tak enak, tidur juga tidak tenang. Sebabambisinya belum tercapai.

Itulah pentingnya kita simak sabda Rasulullah SAW berikut ini:“Lihatlah orang yang lebih bawah daripada kamu, jangan melihat orang yang tinggi daripada kamu, karena dengan demikian kamu tidak akan lupa segala nikmat Allah kepadamu.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Di kesempatan lain Nabi bersabda: "Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa), maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bisa jadi apa yang kita miliki dengan segala keterbatasan, tidak dimiliki orang lain. Sehingga walaupun yang kita miliki terbatas, jelek dan tak bermakna akan menjadi lebih bernilai jika kita melihat orang lain yang masih ada di bawah kita. Di saat itulah, kita bisa bersyukur masih bisa memiliki sesuatu yang sedikit, sedangkan banyak orang lain yang tidak memilikinya. Makanya, dalam soal materi, janganlah melihat kepada orang yang di atas (yang memiliki banyak harta) akan tetapi lihatlah orang yang masih di bawah kita.

Oleh sebab itulah, qana'ah dan syukur adalah salah satu tanda berkualitasnya iman seseorang. Sedang hasud dan dengki adalah ciri nafsu yang terbelenggu syetan. “Hakikat syukur adalah mengakui nikmat yang diberikan Allah diikuti perasaan tunduk pada-Nya” kata Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. Syukur tidak hanya diucap lisan. Syukur hakiki ada ada perasaan dalam hati, bahwa ia puas dengan apa yang telah diberi Allah.

Apabila hati tunduk, maka akan diikuti oleh organ-organ tubuh lainnya untuk tunduk pada-Nya. Inilah yang disebut ta’at. Seorang manuisa tidak disebut patuh kecuali ia buktikan dengan ta’at pada semua perintah-Nya. Berarti, aktifitas syukur itu biasanya adalah melibatkan hati dan organ tubuh.

Dalam Kitab al-Ghunyah Syeikh al-Jilani membagi syukur menjadi tiga; “Syukur dengan lisan, yaitu mengakui adanya nikmat Allah dan merasa tenang. Syukur dengan badan dan anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan dan pengabdian kepada-Nya. Serta Syukur dengan hati, yaitu ketenangan diri atas keputusan Allah dengan senaniasa menjaga hak Allah yang wajib dikerjakan.
Cara Bersyukur

Tentang bagaimana cara bersyukur, kitab al-Ghunyah memberi arahan; Pertama, syukur dengan lisan, yakni dengan cara mengakui bahwa nikmat itu berasal dari Allah dan tidak menyandarkannya kepada makhluk atau kepada diri kita sendiri, daya, kekuatan atau usaha kita. Tidak pula disandarkan kepada orang lain yang melakukan dengan tangan mereka karena kamu dan mereka hanyalah sebagai perantara, alat dan sarana terhadapnya, sedangan penentu, pelaksana, pengada dan penyebabnya hanyalah Allah. Allah lah yang menentukan dan menjalankan sehingga Dia lebih berhak untuk disykuri dari selain-Nya.

Kedua, syukur dengan hati. Yaitu keyakinan yang abadi, kuat, dan kokoh. bahwa semua nikmat, manfaat, dan kelezatan, baik lahir maupun batin, gerakan maupun dia kita, adalah berasal dari Allah bukan dari selain-Nya. Dan syukurnya isan merupakan ungkapan dari apa yang ada di dalam hati.

Ketiga, syukur dengan perbuatan. Bersyukur dengan anggota badan adalah dengan cara menggerakkan dan menggunakannya untuk ketaatan kepada Allah, bukan untuk selainnya. Tidak memenuhi seruan orang yang mengajak untuk menentang Allah. Hal ini juga mencakup jiwa, hawa nafsu, keinginan, cita-cita dan makhluk-makhluk lainnya. Menjadikan ketaatan kepada Allah sebagai dasar yang diikuti dan pemimpin, sedangkan selainnya dijadikan hamba, pengikut dan makmum. Allah SWT berfirman: ”Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS Al-Dhuha: 11).

Bersyukur sesungguhnya juga menjaminkan rizki. Semua jenis syukur tersebut tidak lain adalah taqwa kepada-Nya. Taqwa sebagaiman pernah difirmankan-Nya mendatangkan rizki. “Barangsiapa yang beramal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dan dia (dalam keadaan) beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia). dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (di akhirat kelak).” (Q.S al-Nahl:97).

Bila kita mau lakukan langkah-langkah itu, jiwa tak akan terbelenggu oleh ambisi duniawi, tidak terpenjara oleh nafsu dan hati pun lapang. Tidak stres dan gundah. Bahkan bisa merubah seseorang menjadi yang pemurah, walau tak berkantong tebal. Tidaklah kekayaan itu dengan banyak harta, tetapi sesungguhnya kekayaan itu ialah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari-Muslim).

Mari kita rayakan bahagia ini bukan karena materi, tapi dengan senantiasa bersyukur atas kenikmatan yang dikaruniakan-Nya pada kita semua.[Kholili Hasib]

Dua Kerusakan Akibat Kejahatan Lidah (2)


Etika Berbicara

Karena begitu pentingnya menjaga mulut agar tidak jatuh kepada kebatilan maka, mengetahui adab dalam berbicara adalah keharusan – untuk diamalkan. Sebab kebikan seseorang itu dalam berbicara menunjukkan keilmuan dan keimanannya.

Pertama, di antaranya sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW bahwa jika seseorang berbicara, Rasulullah SAW selalu menghadapkan wajah dan tubuhnya ke arah orang yang bicara tersebut. Mendengarkan dengan seksama, tidak memotong pembicaraannya kecuali orang itu yang menghentikan sendiri.

Kedua, jangan tergesa-gesa mengeluarkan kata-kata atau statemen sebelum dipikirkan dan diyakini benarnya. Pikirkanlah terlebih dahulu kata-kata kita dan pikirkan juga apa kira-kira yang akan terjadi seandainya kita tidak membicarakannnya.

Ketiga, pilihkan kata-kata yang kita ucapkan itu dengan pilihan kata yang baik-baik. Hindarkan kosa kata yang buruk dan menyesatkan.

Keempat, ketika berbicara – terutama kepada orang yang lebih tua, guru atau berilmu – hendaknya dengan nada tawadlu’. Jangan tampakkan gaya bicara orang yang sok tahu atau apapun yang menunjukkan kesombongan. Jangan pula bernada mengejek, memandang rendah, menunjukkan ego maupun kelebihan diri kita atau menghasut sesama tema, sebab itu semua menyebabkan pudarnya ukhuwah.

Kelima, jika pembicaraan kita tidak memerlukan penjelasan yang melebar, maka hendaknya perkataan kita ringkas namun mengenai sasaran. Usahakan meringkas kata-kata baik yang perlu disampaikan. Jika penjelasan itu tidak memerlukan keterangan panjang, jangan sampai malah berpanjang lebar sehingga justru akan membuat bosan orang atau malah membingungkan.

Keenam, jika kita dihadapkan dengan orang banyak, maka hadapkanlah pandangan kita secara merata ke semua pendengar. Jangan hanya menatap pada satu orang saja atau sebagaian di antara mereka.

Berkenaan dengan itu semua kita perlu simak hadis Rasulullah SAW yang berbunyi: “Kebanyakan kesalahan manusia ialah terletak pada lidahnya.” (HR Thabrani).

Bagaimanapun, lidah adalah kunci kebaikan sekaligus penyulut kerusakan, maka jangan main-main dengannya! */Kholili Hasib

Kerusakan Akibat Kejahatan Lidah (1)


Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata, “Ya Rasulullah! Sungguh si fulanah itu terkenal banyak shalat, puasa, dan sedekahnya. Akan tetapi juga terkenal jahat lidahnya terhadap tetangga-tetangganya.”. Maka berkatalah Rasulullah SAW kepadanya, “Sungguh ia termasuk ahli neraka”.

Kemudian laki-laki itu berkata lagi, “Kalau si fulanah yang satu lagi terkenal sedikit shalat, puasa dan sedekahnya, akan tetapi ia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Maka Rasulullah SAW berkata, “Sungguh ia termasuk ahli surga.” (HR.Muslim).

Kisah dalam hadis tersebut memberi pelajaran akan bahaya lidah. Betapa jika tidak dikontrol iman, lidah bisa menjerumuskan ke dalam neraka. Meskipun seseorang itu ahli ibadah, banyak shalat, puasa, akan tetapi bila tidak mampu menjaga lidahnya dari memfitnah, berbohong dan hasud – amalannya tersebut sia-sia.

Oleh sebab itu, lidah bisa menjadi media taat kepada Allah, dan bisa pula untuk memuaskan hawa nafsu. Lidah bisa digunakan untuk membaca al-Qur’an, hadis dan menasihati, lidah juga berubah seperti layaknya penyulut api. Memfitnah,bersaksi palsu, ghibah, namimah, dan memecah belah umat. Jika seperti ini seberapa banyak pun ibadah kita tak ada gunanya, semuanya gugur gara-gara lidah yang terselip.

Rasulullah SAW memperingatkan, bahwa bahaya lidah adalah salah satu perkara yang paling beliau khawatirkan. Sebabnya, semua amal akan berguguran jika lidah kita jahat. Suatu kali salah seorang sahabat Sufyan al-Tsaqafi bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, katakan kepadaku dengan satu perkara yang aku akan berpegang dengannya!" Beliau menjawab: "Katakanlah, `Rabbku adalah Allah`, lalu istiqomahlah". Aku berkata: "Wahai Rasulullah, apakah yang paling anda khawatirkan atasku?". Beliau memegang lidah beliau sendiri, lalu bersabda: “Ini." (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dua Kerusakan

Bentuk kejahatan lidah itu ada dua. Yaitu, lidah yang banyak bicara kebatilan dan lidah yang diam terhadap kebatilan. Kejahatan lidah memang bisa setajam pedang. Jika kita tidak hati-hati menggunakannya, maka ketajamannya bisa menumpahkan darah, sebagaimana pedang menusuk tubuh manusia. Bisa pula lidah itu membiarkan ‘api’ yang membakar semakin besar.

Maka, ada dua bahaya besar yang bisa menimpa lidah kita. Bisa karena banyak bicara yang tidak perlu dan menyesatkan atau diam terhadap kebenaran. Dua-duanya adalah sumber kerusakan.

Imam Abu 'Ali ad-Daqqaq pernah mengatakan: "Orang yang berbicara dengan kebatilan adalah setan yang berbicara, sedangkan orang yang diam dari kebenaran adalah setan yang bisu."

Gara-gara lidah, seseorang tergiring masuk neraka. Menjadi hamba yang merugi, sebab pahala orang yang berdosa karena kerusakan lidah akan dihadiahkan kepada orang yang didzalimi. Gara-gara lidah yang jahat kita bisa menjadi hamba yang bangkrut (muflis).

Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang pada hari kiamat nanti datang membawa pahala shalat, zakat dan puasa, namun di samping itu ia membawa dosa mencela, memaki, menuduh zina, memakan harta dengan cara yang tidak benar, menumpahkan darah, dan memukul orang lain.” (HR.Muslim)

Bahaya pertama adalah tersebarnya kebatilan agama yang diakibakan oleh lidah mengucapkan kata-kata yang batil ataupun banyak bicara pada hal-hal yang tidak bermanfaat. Kedua-duanya merusak masyarakat dan hubungan baik dengan orang lain.

Oleh sebab itu, jika kita tidak tahu terhadap suatu persoalan sebaiknya diam terlebih dahulu sebelum memperoleh jawaban dari ahlu dzikri (orang yang ahli). Jika tidak, kata-kita kita yang tidak berdasarkan ilmu itu bisa menyesatkan.

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari Muslim).

Lebih baik diam jika dihadapkan terhadap persoalan yang belum kita ketahui. Akan tetapi, ingat tidak sekedar diam selamanya. Akan tetapi kita wajib mencari tahu jawaban yang belum kita ketahui. “Janganlah kamu bersikap terhadap sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (QS al-Isra': 36).

Kita mesti bertanya kepada ahlinya terhadap suatu persoalan. Allah SWT memberi arahan: “Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS an-Nahl: 43). Janganlah memberi fatwa, jika kita tidak tahu ilmunya, jangan pula menyebarkan informasi yang kita belum paham asal-usulnya. Sebab, ilmu adalah pondasi. Jika ilmu kita salah, maka akan gugurlah seluruh amal-ibadah kita.

“Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku di akhirat nanti adalah orang yang paling jelek akhlaknya, orang yang banyak bicara, orang yang berbicara dengan mulut yang dibuat-buat dan orang yang sombong.” (Jami’ al-Shaghir).

Kerusakan ilmu juga diakibatkan oleh banyaknya perkataan batil yang bergulir. Banyak orang ahli bicara dan beretorika namun tidak berilmu. Karena tidak berdasarkan ilmu, maka pembicaraannya bisa menyesatkan, mencerai-beraikan ukhuwah, dan memecah silaturahmi.

Kerusakan yang kedua adalah kebenaran yang disembunyikan dan kebatilan yang dibiarkan. Ini akibat lidah yang diam terhadap kebatilan. Imam Ibn Hajar dalam kitab al-Shawa’iq al-Muhriqah mengatakan, orang yang dilaknat Allah adalah seorang berilmu (ulama’) yang mendiamkan terhadap bid’ah agama.

Dalam hadis tersebut di atas, Rasulullah SAW tidak sekedar memerintahkan untuk diam, akan tetapi hadis itu memberi pelajaran kita untk tidak berkata kecuali yang baik dan benar.

Kita tidak diperintah untuk terus menjadi ‘orang yang diam’. Orang yang terus-menerus diam adalah orang yang bodoh. Rasulullah SAW tidak mengajarkan itu. Sering kali kita mendengar keluhan saudara-saudara kita: “Saya masih awam belum tahu apa-apa”. Kata-kata ini terus ia ulang-ulangi. Islam tidak mengajarkan kita untuk terus menjadi awam.

Sebab, jika kita terus menjadi awam, maka kita akan terus menjadi orang yang ‘diam’. Padahal kita dituntut untuk mendakwahkan kebaikan, menyebarkan hikmah dan meluruskan kebatilan. Sufyan ats-Atsauri Rahimahullah berkata:“Ibadah yang pertama kali adalah diam, kemudian menuntut ilmu, mengamalkan, menghafal dan menyampaikannya.”

Jadi kerusakan agama itu bisa karena tersebarnya kebatilan yang digulirkan oleh mulut-mulut yang tak berilmu, bisa juga disebabkan didiamkannya kebatilan oleh orang yang berilmu. * Kholili Hasib