KEFANAAN YANG DICARI

Minggu, 23 Desember 2012

BESARKAN PERSAMAAN, TUTUPI PERBEDAAN

SETIAP rumah tangga tentu mendambakan kelanggengan cinta kasih antara suami dan istri. Setiap pernikahan tentu tidak pernah menginginkan pertengkaran, perpisahan apalagi perceraian. Namun seiring dengan bergulirnya waktu, dimana antara suami dan istri mulai saling mengenal secara mendalam perbedaan dan kelemahan masing-masing, tidak sedikit yang ‘gagal’ dalam membaca perbedaan di antara keduanya.

Akibatnya pertengkaran perlahan mulai sering terjadi. Tiada hari yang dilalui kecuali selalu dibumbui dengan percekcokkan, saling lempar tanggung jawab, bahkan sampai pada tahap saling menyalahkan.

Tentu tidak satu pun rumah tangga yang tidak pernah ada di dalamnya pertengkaran, kesalahpahaman, atau pun beda pendapat. Tetapi alangkah indahnya jika kita mampu membaca perbedaan tersebut dalam bingkai kebijaksanaan, sehingga tidak perlu ada pertengkaran yang sebenarnya bisa dihindari.

Ada banyak ragam perbedaan dalam rumah tangga. Mulai dari suami yang super protektif terhadap istri dan anak sampai pada suami yang sangat toleran atau mungkin sangat terkesan kurang peduli dengan hal-hal kecil, dan sederhana. Demikian pula dari sisi istri, mulai dari istri yang sangat tabah, rajin bekerja dan rajin ibadah, hingga istri yang suka belanja, berdandan bahkan mungkin jalan-jalan.
Satu hal yang tidak bisa kita pungkiri ialah perbedaan. Soal ini Allah telah mengatakan langsung dalam al-Qur’an ;

“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. 36: 36).

Demikian pula halnya dalam kehidupan manusia. Laki-laki berpasangan dengan wanita. Keduanya adalah manusia yang berjenis kelamin tidak sama, punya karakter yang berbeda, dan tentu juga punya cara berpikir yang tidak bisa disamakan. Hal ini adalah bukti kekuasaan Allah SWT.

Allah berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. 30: 21).

Ketika keduanya menyatu dalam ikatan pernikahan maka perbedaan itu adalah ‘jalan pintas’ yang Allah anugerahkan kepada setiap pasangan untuk bisa mengasah iman dengan lebih intens, melatih jiwa dengan lebih nyata, dan yang tidak kalah pentingnya ialah meraih derajat taqwa melalui bahtera rumah tangganya.

Bagaimana sabar bisa diaplikasikan jika masalah tidak muncul. Bagaimana qana’ah bisa diterapkan jika semua berjalan lurus-lurus saja. Atau bahkan mungkin bagaimana kesetiaan bisa diukur jika tidak ada ujian. Prinsipnya perbedaan adalah ‘jalan pintas’ mengasah diri lebih baik lagi. Bahkan bagi istri yang sabar atas ujian yang dialaminya dalam berumah tangga, baginya adalah surga.

Rasulullah saw bersabda, "Maukah aku khabarkan kepada kalian tentang isteri kalian yang berada di surga? Kami berkata,”Ya, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, "Dia adalah wanita yang sangat mencintai lagi pandai punya anak, bila sedang marah atau sedang kecewa atau suaminya sedang marah maka ia berkata: Inilah tanganku aku letakkan di tanganmu dan aku tidak akan memejamkan mata sebelum engkau ridha kepadaku." (HR. Thabrani).

Ingatkan Tujuan Nikah

Sejatinya kalau ditelusuri secara teliti, sumber masalah muncul bukan karena hal-hal prinsip, seperti kepercayaan, kesetiaan, dan kecintaan. Tetapi lebih pada hal-hal teknis. Seorang istri merasa hidupnya kurang bahagia hanya gara-gara suami yang dulunya diyakini baik (karena selalu menuruti keinginannya), belakangan dianggap tidak baik justru karena dalam anggapannya suaminya super protektif terhadap keluarga.

Diharuskan pakai jilbab meski dalam acara keluarga. Di larang mendengarkan nasyid di mobil pribadi saat mengemudi, diingatkan juga oleh suami agar tidak bepergian seorang diri, ini dan itu. Intinya suami banyak mengeluarkan aturan-aturan. Bahkan setiap hari di telpon hanya untuk mengingatkan perihal sudah sholat atau belum.

Jika kita gunakan perspektif iman dalam melihat masalah di atas, maka apa yang dilakukan suami itu secara prinsip tidaklah bermasalah. Namun sangat mengganggu manakala pihak istri belum terbiasa memahami maksud baik di balik sikap sang suami yang katanya super protektif itu. Boleh jadi suami ingin diri dan keluarganya terbebas dari hal-hal yang kurang bermanfaat dan kurang menunjukkan identitas keimanan.

Namun demikian dibalik sebuah cita-cita besar, seorang suami memang sangat bijaksana tidak gampang mengeluarkan ‘fatwa’, sehingga istri dan keluarga merasa dalam penjara yang serba ketat peraturannya. Sampaikan dengan bijaksana dan lemah lembut bahwa anda punya keinginan begini dan begitu. Lalu berikan argumentasi bahwa apa yang anda inginkan itu sesuai dengan ajaran Islam. Dan, jangan lupa berdoa agar istri dan keluarga anda memahami maksud baik anda.
Pada tingkatan tertentu, ketika perbedaan sudah mendominasi kehidupan rumah tangga. Sampai-sampai hampir semua hal terlihat buruk (meskipun sebenarnya tidak) maka kembalilah berdisukusi dengan pasangan, perihal untuk apa pernikahan dilakukan. Jika memang benar ingin mendapat ridho Allah, kenapa tidak memilih jalan damai, dengan sama-sama berupaya memperbaiki diri, saling memahami dan bahu-membahu mengisi sisa hidup untuk taat kepada Allah SWT.
Sekiranya setiap keluarga mengerti untuk apa mereka menikah tentu tidak ada pertengkaran apalagi perceraian. Karena semua didasari pada prioritas mendapat ridho Allah dan ingin benar-benar menyempurnakan agama.

Jadi tidak semestinya Muslim dan Muslimah yang telah mengikat pernikahan lebih suka membesar-besarkan perbedaan kemudian memilih jalan percekcokan hingga akhirnya perceraian. Yakinlah bahwa Allah tidak salah memilihkan kita pasangan. Tapi perbanyaklah intropeksi diri, jangan sampai tidak mensyukuri pasangan yang telah Allah anugerahkan kepada kita.*/Imam Nawawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar