Salah satu syarat diterimanya ibadah seorang hamba adalah hadirnya keikhlasan. Allah SWT berfirman,
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepadanya dalam (menjalankan) agama dengan
lurus, ….” (al-Bayyinah (98) : 5)
Keikhlasan merupakan rahasia yang berkaitan dengan kerja hati dan
kejiwaan, dan apabila hati dan kejiwaan dikuasai oleh kemurnian tauhid,
maka keikhlasan akan selalu hadir dalam setiap ibadah. Akan tetapi,
apabila kemurnian tauhid terkotori, maka akan timbul penyakit hati yang
sangat berbahaya, sekaligus rival keikhlasan yang senantiasa menyerang
dan merintanginya. Penyakit itu adalah riya.
Pengertian Riya
Secara etimologi, kata riya’ berasal dari akar kata ru’yah. Apabila dikatakan si Fulan riya, berarti dia melakukan sesuatu yang ingin dilihat atau diperhatikan orang lain .
Adapun dalam tinjaun terminologi, riya adalah sikap muslim yang ingin
diperhatikan orang lain dalam melakukan aktivitas kebaikan, dengan
tujuan untuk mendapatkan kedudukan, pujian, atau tujuan-tujuan lain yang
bersifat duniawi. Dengan kata lain, riya berarti melakukan amal untuk
selain Allah SWT.
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan masalah motif beribadah.
Oleh karena itulah, hadirnya keikhlasan merupakan hal mutlak yang harus
dipenuhi. Motif-motif ibadah selain Allah harus disingkirkan
sejauh-jauhnya, termasuk di antaranya adalah riya itu sendiri. Bahkan,
secara spesifik penyakit riya ini dilarang dengan tegas dalam Al-Qur`an
dan Sunnah oleh karena ia akan menghanguskan nilai ibadah pahala kita. Allah SWT berfirman,
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan (si
penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya dengan riya kepada
manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah,
kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak
bertanah). Mereka tidak mengusai sesuatu pun dari apa yang mereka
usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (al-Baqarah (2) : 264)
Rasulullah saw. bersabda, “’Sesungguhnya, yang paling aku
takutkan atas kalian adalah syirik kecil.’ Sahabat bertanya, ‘Apa yang
dimaksud dengan syirik kecil, Ya, Rasulullah?’ Rasulullah saw. menjawab,
‘Syirik kecil adalah riya.’” (HR. Ahmad) [1]
Sebab-Sebab Riya
Hal penting yang perlu kita ketahui dalam masalah riya adalah
sebab-sebab yang bisa menjatuhkan diri kita dalam penyakit ini. Di
antara sebab-sebabnya adalah sebagai berikut.
1. Lingkungan keluarga.
Keluarga merupakan tempat di mana anggota-anggotanya berinteraksi
secara intens sehingga yang terjadi adalah saling mempengaruhi antara
satu dengan yang lain. Apabila seseorang hidup dalam sebuah keluarga
yang kental dengan tampilan-tampilan riya, maka sulit untuk tidak jatuh
pada penyakit ini, terlebih anak-anak yang punya kecenderungan untuk
mengikuti orang tua. Maka, langkah strategis yang harus dilakukan orang
tua adalah memperdalam ajaran Islam sehingga sang anak akan mampu
membentengi dan memproteksi dirinya dari riya.
2. Pengaruh teman.
Sebagaimana keluarga mempunyai pengaruh yang kuat dalam mempengaruhi
putih hitamnya perilaku kita, teman pun demikian, sehingga Allah SWT
senantiasa menganjurkan kepada kita agar kita mencari dan menjadikan
orang-orang yang saleh sebagai mitra kita atau teman dalam bergaul kita.
Allah telah menggambarkan sebuah penyesalan hambanya yang salah dalam
berinteraksi. Allah SWT berfirman,
“Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman akrab(ku).” (al-Furqaan (25) : 28)
3. Tidak mengenal Allah SWT dengan baik.
Ketidaktahuan seseorang akan kedudukan keagungan Allah SWT dan
kebesaran-Nya akan menghantarkan pada tampilan sikap dalam beribadah
kepada Allah SWT. Maka, mengenal Allah merupakan hal yang urgen sekali
oleh karena dengan cara itulah kita akan terjaga dari
kesalahan-kesalahan dalam beribadah kepada Allah, termasuk munculnya
penyakit riya.
4. Keinginan yang berlebihan untuk menjadi pemimpin atau meraih jabatan dan kedudukan.
5. Ketamakan kepada harta
6. Kekaguman yang berlebihan dari orang lain.
Kekaguman yang berlebihan dari orang lain manakala tidak dikelola
dengan baik bisa menjadikan orang yang dikagumi membusungkan dadanya dan
lupa kepada Allah SWT sehingga timbullah sikap riya. Penyebabnya, ia
akan senantiasa mencari celah agar sikap, perilaku, dan ibadahnya
senantiasa mendapat sanjungan orang lain.
7. Kekhawatiran penilaian yang kurang menyenangkan dari orang lain.
Ciri-ciri Orang Yang Memiliki Sifat Riya
Pengetahuan kita tentang ciri-ciri orang yang
mempunyai sifat riya merupakan hal penting oleh karena kita akan
melakukan penyikapan-penyikapan yang jelas terhadap mereka yang terkena
penyakit ini. Minimal ada tiga ciri dasar dari orang yang mempunyai
sifat riya:
1. Munculnya keseriusan dan giat dalam bekerja manakala mendapat
pujian dan sanjungan, dan akan malas manakala tidak ada pujian, bahkan
meninggalkan pekerjaannya manakala dicela oleh orang lain;
2. Tampilnya profesionalisme kerja manakala dia bekerja secara
kolektif, dan apabila bekerja secara individu yang muncul adalah
kemalasan yang sangat;
3. Konsisten di dalam menjaga batasan-batasan Allah SWT apabila
bersama orang lain, dan melakukan pelanggaran-pelanggaran manakala dia
sendirian.
Dampak Dari Sifat Riya
Karena sifat riya merupakan penyakit hati, sudah
barang tentu dia mempunyai efek negatif dalam kehidupan kaum Muslimin,
baik secara pribadi maupun dalam bentuk amal islami. Berikut ini adalah
dampak negatif dari sifat riya.
1. Dampak riya terhadap pelakunya
a. Terhalangi dari petunjuk dan taufik Allah SWT.
b. Menimbulkan keguncangan jiwa dan kesempitan hidup.
c. Hilangnya karismatika dirinya pada orang lain.
d. Hilangnya profesionalisme dalam bekerja.
e. Terjerumus pada sikap ujub, terperdaya, dan sombong.
f. Batalnya amal ibadah yang dilakukan.
g. Akan mendapat azab pada hari akhir.
2. Dampak riya terhadap amal islami
Efek negatif riya yang paling dominan dalam amal islami adalah
tertundanya banyak pekerjaan dan terjadinya akumulasi biaya pekerjaan
yang besar. Hal itu dilatari karena setiap pekerjaan yang dilakukan
menunggu sanjungan orang lain yang pada waktu yang bersamaan akan
berimbas pada pembiayaan pekerjaan. Betapa banyaknya pekerjaan-pekerjaan
besar yang terbengkalai manakala kaum Muslimin terjangkit penyakit ini.
Maka, manakala kita mengetahui dampak negatifnya yang begitu besar,
baik secara individu maupun kolektif, menjadi sebuah kewajiban bagi kita
untuk menghilangkan dan memusnahkan sifat ini dari diri kita.
Terapi Sifat Riya
Islam adalah agama yang solutif sehingga tatkala riya yang merupakan
rival keikhlasan, yang dapat membatalkan nilai ibadah dan amal-amal
kita, Islam tidak membiarkan begitu saja tanpa adanya solusi atau terapi
untuk memproteksi diri kita dari sifat yang berbahaya ini. Berikut ini
adalah terapi sifat riya.
1. Mengetahui dan senantiasa ingat terhadap dampak negatif riya.
2. Menjauhkan diri kita dalam berinteraksi sosial dari orang-orang yang mengidap penyakit riya.
3. Mengenal Allah SWT dengan baik.
4. Melakukan perlawanan (jihad) melawan hawa nafsu yang selalu
mendorong dan menjatuhkan kita ke dalam pelanggaran-pelanggaran kepada
Allah, termasuk riya.
5. Komitmen terhadap akhlak Islam.
6. Berusaha semaksimal mungkin untuk memahami nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah yang melarang sifat riya.
7. Menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya sandaran kita dan tempat berlindung kita.
[1] . Imam Ahmad. Musnad. Juz 5, hlm. 428-429
Tidak ada komentar:
Posting Komentar