KEFANAAN YANG DICARI

Sabtu, 27 Agustus 2011

gerakan jari telunjuk dalam sholat 2




عَنْ زَا ئِدَ ةَ بِنْ قُدَا مَةَ عَنْ عَاصِمِ بِنْ كلَيْبٍ قَا لَ: أَخْبَرْنِيْ أَبِيْ عَنْ وَاإِلِ بِنْ حُجْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ : لَأَنْظُرَنَّ اِلَى ر َسوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَمَيْهِ وَ سَلّضمَ كَيْف يُصَلِّ ؟



قَالَ: فَنَظَرْتُ اِ لَيْهِ لَيْهِ قَامَ ، فَكَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَا ذَتَا بِأُ ذُنَيْهِ ، ثُمَّ وَضَعَ كَفَّهُ الْيُمْنَى عَلَى ظَهْرِ كَفِّهِ الْيُسْرَى وَارَُسْغِ وَالسَّاعِدِ. ثُمَّ ٌقَالَ: لَمَّا اَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ مِثْلَهَا وَ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ , ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ مِثْلَهَا ثُمَّ سَجَدَ فَجَعَلَ كَفَّيْهِ بِخِذَاءِ أُذْنَيْهِ ثُمَّ قَعَدَ فَافْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى فَوَ ضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ اْلأَيْمَنِ عَلَى فَخِذِهِ الُيُمْنَى ثُمَّ قَبَضَ(ثِنْتَيْن) بَيْنَ أَصَابِعِهِ فَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ أُصْبُعَهْ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُوْ بِهَا.



ثُمَّ جئْتُ بَعْدَ ذَلِكَ فِى زَمَانٍ فِيْهِ بَرْدٌ فَرَأَيْتُ النَّاسَ عَلَيْهِمُ الثِّيَابِ تَحَرَّكُ اَيْدِيْهِمْ مِنْ تَحْتِ الثِّيَابِ مِنَ الْبَرْدِ.



##237. Dari Zaaidah bin Qudamah dari ‘Aashim bin Kulaib, ia berkata, “Telah mengabarkan kepadaku bapakku (yaitu Kulaib bin Syihaab) dari Waail bin Hujr –semoga Allah Meridhainya- ia berkata, ‘Aku berkata (yakni di dalam hati): Sungguh! Betul-betul aku akan melihat/memperhatikan bagaimana caranya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mendirikan shalat?’



Berkata Waail, ‘Maka aku melihat beliau berdiri (menghadap ke kiblat) kemudian bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya sehingga setentang dengan kedua telinganya. Kemudian beliau meletakkan kedua tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kirinya dan di atas pergelangan dan lengan.’



Berkata Waail,’Ketika beliau hendak ruku’ beliau pun mengangkat kedua tangannya seperti di atas, kemudian beliau meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya. Kemudian beliau mengangkat kepalanya (yakni I’tidal) sambil mengangkat kedua tangannya seperti di atas. Kemudian beliau sujud dan beliau letakkan kedua telapak tangannya setentang dengan kedua telinganya. Kemudian beliau duduk (duduk di sini dzahirnya duduk tahiyyat/tasyahhud bukan duduk di antara dua sujud karena Waail atau sebagian dari rawi meringkas hadits ini) lalu beliau menghamparkan kaki kirinya dan beliau letakkan telapak tangan kirinya di atas paha dan lutut kirinya dan beliau jadikan batas sikut kanannya di atas paha kanannya, kemudian beliau membuat satu lingkaran (dengan kedua jarinya yaitu jari tengah dan ibu jarinya), kemudian beliau mengangkat jari (telunjuk)nya, maka aku melihat beliau menggerak-gerakkannya beliau berdo’a dengannya’



(Berkata Waail), ‘Kemudian, sesudah itu aku datang lagi pada musim dingin, maka aku lihat manusia (para sahabat ketika mendirikan shalat bersama nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam) mereka menggerakkan tangan-tangan mereka dari dalam pakaian mereka lantaran sangat dingin (yakni mereka mengangkat kedua tangan mereka ketika takbir berdiri dan ruku’ dan seterusnya dari dalam pakaian mereka karena udara sangat dingin)’.”##



HADITS SHAHIH, dikeluarkan oleh imam-imam: Ahmad bin Hambal di musnadnya (4/318 dan ini lafadznya), Abu Dawud (No. 727 dengan ringkas), Nasa’I (No. 889 dan 1268), Ad Dariimi di sunannya (1/314-315), Ibnul Jarud di kitabnya Al-Muntaqa’ (No. 208), Ibnu Khuzaimah (No. 480 dan 714) dan Ibnu Hibban (No. 485), semuanya dari jalan Zaaidah bin Qudamah seperti di atas.



Saya berkata: Sanad hadits ini shahih dan rawi-rawinya tsiqat dan hadits ini telah dishahihkan oleh jama’ah ahli hadits di antaranya Imam Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, An-Nawawi, Ibnul Qayyim, dan ahli hadits besar pada zaman ini Syaikh Al-Albani dan lain-lain.



Sepanjang yang saya ketahui –wallahu a’lam- tidak ada seorang pun dari ahli hadits baik yang dahulu maupun yang sekarang yang melemahkan hadits Waail di atas kecuali tiga golongan:



Pertama : Mereka yang masih ‘pemula’ dalam ilmu yang mulia ini. Yang biasanya sering mendha’ifkan hadits yang shahih atau sebaliknya atau menjarh rwi yang tsiqat atau sebaliknya. Mereka yang merasa sudah cukup mampu untuk urusan takhrij dan tashhih atau tadl’if sesuatu hadits hanya dengan satu atau dua kitab musthalah!


Kedua : Mereka yang ta’ashshub madzhabiyyah.



Ketiga : Ahli ilmu yang keliru dalam ijtihadnya karena telah menyimpang dan keluar dari kaidah-kaidah ilmu hadits yang telah disepakati oleh para ‘ulama.



Dan saya sangat mengharapkan bahwa Nadwah Mudzakarahnya majalah Al Muslimun termasuk dalam golongan yang ketiga ini meskipun dalam masalah ini mereka telah keliru berat sebagaimana akan datang bantahan saya terhadap mereka. (Bantahan tersebut telah dimuat di Al muslimun nomor 238 tahun 1990).



Oleh karena itu apabila kita melihat dengan insaf menurut ilmu hadits, maka tidak dapat tidak kita akan menshahihkan hadits Waail tersebut karena beberapa sebab:



Sebab pertama: Hadits Waail bin Hujr yang diriwayatkan dari jalan ‘Aashim bin kulaib dari bapaknya dari Waail bin Hujr mempunyai jalan/thuruqul hadits yang banyak sekali dari jalan ‘Aashim bin kulaib.



Sampai hari ini saya telah mendapatkan empat belas (14) orang rawi yang meriwayatkan dari ‘Aashim bin kulaib, yaitu:



1. Bisyr bin Mufadldlal.

2. Zaaidah bin Qudaamah.

3. Sufyan Ats Tsauri.

4. Sufyan bin ‘Uyaynah.

5. Syu’bah.

6. Abdullah bin Idris

7. Zuhair bin Mu’awiyah

8. Syarik bin Abdullah

9. Israil

10. Sallaam bin Sulaim

11. Abdul Wahid

12. Ibnu Fudlail

13. Abdul Jabbar bin ‘Alaa

14. Said bin Abdurrahman.





Semua riwayat di atas dari empat belas (14) jalan telah saya takhrij dan saya turunkan satu persatunya dalam takhrij ilmiyyah saya terhadap kitab Sunan Abi Dawud (No. 726 dan seterusnya). Yang jadi pembicaraan kita dalam masalah ini (yakni hadits yuharriku) ialah riwayat Zaaidah bin Qudaamah yang dalam riwayat ini ada tambahan lafadz yang tidak terdapat di dalam riwayat-riwayat yang lain yaitu yuharrikuha.



Sebab kedua: Keshahihan riwayat Zaaidah dari ‘Aashim dari bapaknya dari Waail bin Hujr sebagaimana telah kami jelaskan di muka dan di bawah ini lebih rinci lagi:



1. Zaaidah bin Qudaamah adalah seorang rawi yang tsiqat dan tsabit dan shahibu sunnah sebagaimana telah dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar di Taqrib-nya.



Dalam hal ini para imam telah ijma’ tentang ‘sangat tsiqat-nya’ Zaaidah bin Qudaamah bahkan beliau seorang rawi yang paling tsabit dalam mendengar hadits dari syaikhnya. Lebih dari itu, beliau adalah salah seorang imam-imam Ahlus sunnah wal jama’ah sehingga beliau dijuluki Shahibu Sunnah [7]



2. Adapun ‘Aashim bin Kulaib bin Syihab seorang rawi yang tsiqat sebagaimana akan datan penjelasannya dengan luas dalam bantahan kami terhadap Nadwah Mudzakarahnya majalah Al Muslimun yang telah mendla’ifkan hadits yuharrikuha hanya karena penyendirian ‘Aashim!?



3. Sedangkan Kulaib bin Syihab dari bapak dari ‘Ashim adalah seorang rawi yang tsiqat sebagaimana telah dikatakan oleh Imam Abu Zur’ah.



Berkata Ibnu Sa’ad, “Dia seorang yang tsiqat dan aku melihat mereka (para imam) membaguskan haditsnya dan mereka berhujjah dengannya” (Tahdzibut Tahdzib 8/445-446).



Sekarang pembaca yang saya hormati akan mngikuti pembicaraan secara khusus tentang ketsiqatan ‘Ashim bin Kulaib yang pernah dimuat di majalah Al Muslimun (No. 238 tahun 1990)



*Silakan rujuk ke kitab Al-Masaa-il (II/51-78) – Masalah 30 dan 31 oleh Al Ustadz Hakim*





_________________________________________________________________________________________________



Footnote:



[7] Hadits Zaaidah bin Qudamah ini merupakan ziyadatuts tsiqat (tambahan dari rawi yang tsiqat). Sedangkan tambahan dari rawi yang tsiqat ( ziyaadatuts tsiqat ) wajib diterima apabila tidak menyalahi riwayat dari rawi yang lebih tsiqat darinya yang di dalam ilmu musthalahul hadits dinamakan dengan hadits syadz. Di dalam masalah menggerak-gerakkan jari telunjuk di waktu tasyahhud awal dan akhir yang hanya diriwayatkan oleh Zaaidah bin Qudamah tidak bias dikatakan atau dimasukkan ke dalam hadits syadz disebabkan:



Pertama: Tidak syak lagi bahwa Zaaidah bin Qudamah seorang rawi yang sangat tsiqat sebagaimana saya terangkan di atas dari ta’dil (pujian) para imam terhadap Zaaidah bin Qudamah

Kedua : Mengamalkan kaidah ziyadatuts tsiqat maqbulah (tambahan dari rawi yang tsiqat wajib diterima)

Ketiga : Ziyadatuts tsiqat maqbulah sangatlah mendasar sekali yang merupakan ketetapan asal. Seorang rawi yang tsiqat dikatakan haditsnya syadz apabila telah tegas-tegas menyalahi riwayat rawi yang lebih tsiqat darinya. Atau ada tanda-tanda yang menunjukkannya, seperti ada hadits lain yang menguatkan bahwa tambahan tersebut memang syadz. Atau hafalan rawi yang meriwayatkan tambahan tersebut perlu dibicarakan lebih lanjut.

Keempat: Jika dikatakan, bahwa tambahan menggerak-gerakkan jari telunjuk dari Zaaidah bin Qudamah menyalahi sejumlah rawi dari ‘Aashim bin Kulaib yang mana mereka tidak menyebutkan tembahan tersebut?



Saya jawab:(1) Ini merupakan keutamaan Zaaidah bin Qudamah dari saudara-saudaranya sesama rawi dari hadits Wail bin Hujr sehingga beliau melebihi mereka dengan tambahan tersebut. (2) Juga menunjukkan kepada kita bahwa sunnah nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa terpelihara dan terjaga sebagaimana terpelihara dan terjaganya Al-Qur’an hatta itu hanya diriwayatkan oleh seorang rawi seperti tambahan menggerak-gerakkan jari telunjuk oleh Zaaidah bin qudamah. (3) Menunjukkan bahwa hadits mempunyai bebrapa jalan (thuruq). (4) Menunjukkan bahwa para rawi berlebih kurang dalam meriwayatkan hadits. (5) Soal: Apakah menurutmu setiap tambahan dari seorang rawi di dalam satu hadits yang tambahan tersebut tidak diriwayatkan oleh rawi-rawi yang lain di dalam hadits yang sama dinamakan tambahannya itu syadz? Jika engkau menjawab, ya, maka bukan hanya hadits Zaaidah yang syadz, akan tetapi disana terdapat berpuluh bahkan beratus hadits yang dapat dengan mudah kita katakana syadz!? Tentu saja tidak ada seorangpun ahli hadits yang mengatakan seperti di atas. Lalu, dengan cara apa dan ilmu yang mana engkau dha’ifkan hadits Zaaidah bin Qudamah dengan mengatakannya sebagai hadits syadz. Kalau kenyataannya Zaaidah bin Qudamah hanya memberikan tambahan semata yang tidak diriwayatkan oleh saudara-saudaranya sesame rawi hadits Waail bin Hujr. Dan dia juga tidak menyalahi saudara-saudaranya, karena mereka juga tidak mengatakan bahwa nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menggerak-gerakkan jari telunjuk. Mereka hanya meriwayatkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jari telunjuknya, sedangkan Zaaidah memberikan tambahan menggerak-gerakkannya. Apanya yang syadz dalam riwayat ini?



Kelima : Riwayat mereka bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tel;unjuknya, tidaklah menafikan adanya menggerak-gerakkan jari telunjuk baik ditinjau secara lughah maupun sesuatu yang dapat dengan cepat dan mudah ditangkap. Karena isyarat selalu terkait dengan gerak istimewa telah ada riwayat dari Zaaidah bin Qudamah.







[Disalin dari kitab Al-Masaail Jilid II Hal. 43-49; Pengarang Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat ; Cetakan I 2002 M. Penerbit Darul Qolam, Jakarta # Dengan sedikit perubahan]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar